Tuesday, August 15, 1995

Rembulan dikotaku pada suatu ketika

Merah kuning lampu lampu pesta rakyat menebar sukacita,
kemeriahan kota terasa sempurna
merambah gang dan lorong lorong penuh binatang buas berbau tengik
diseluruh penjuru
Anak anakku jadi punya tempat bermain tiba tiba;
bermain seperti dulu kakek neneknya selalu bermain
dan jadi pelakon fantasi untuk juragan besar; pemilik kota.

“akulah pahlawan sebaik baiknya pahlawan
dari semua pahlawan yang membawa kota ini menjadi subur penuh makanan,
dalam kendali kerajaan transparanku
jangan lupa bawa namaku untuk setiap kali hari bersejarah
sebab aku harus selalu ada dimanapun sejarah negeri ini diceritakan.
Ini peryaaan buat kalian ingat dan agungkan namaku
Ini perayaan tolong jangan kencingi kuburku kelak jika aku mati”

Mearh kuning biru lampu pesta rakyat
seperti lupakan rembulan yang polos
diantara jalinan kabel listrik ujung gang dekat rumah petak kontrakanku,
tenang menyaksikan ingar bingar sebuah peringatan munculnya kaum kodok
Rembulan tersipu sewaktu hymne berdengung dengan tempo bersemangat
Sebab kesederhanaan telah kehilangan arti bersama kepicikan pandangan
bahwa penidnasan tak lagi ada.
Rembulan tahu pasti kebenaran negeri ini dari zaman ke zaman,
juga ketika nyala kembang api mengejek sinar redupnya dengan sorak sorai tanpa hati bicara…


Jakarta, 14 Agustus 1995