Wednesday, July 16, 2003

menatap langit

Pagi ini aku kembali menatap langit
cemas menatap betapa setiap lekuk awan membentuk tanya
yang kupikir hanya ada dalam benakku
yang dengan susahnya aku coba simpan utk diriku, pun susah ingin sekali kuungkap
ada sejuta keengganan membagi tanya ini dengan dia yg tak menatap langit bersamaku saat ini
ada sejuta tanya lain yang mengiringi keengganan itu
apa dia juga akan menikmati semua ini selayak aku menghargai setiap detik yang berlalu bersamanya
yang selalu kupajang indah dalam ruang benakku

Andai dia dapat paham setiap bentuk awan itu
mungkin aku dan dia tak perlu jadi misteri bagi cerita ini
mungkin aku tak perlu merangkai kata dan menyesal nantinya
mungkin aku tak perlu lagi menatap kecemasan yg sama setiap kali rasa ini datang
mungkin aku tak perlu lagi membayangkan maut yang sama kubayangkan di saat lalu

semua masih tanya dan aku bahkan tak mengerti kenapa aku harus bertanya
mungkin aku hanya berharap angin yang sejuk
mengiringi bahagiaku di saat nanti menatap langit yg tidak lagi menggambar tanya
mungkin aku hanya mengharap sesuatu yg mustinya telah dapat kunikmati sekarang
andai saja aku bisa mengajaknya menikmati langit saat ini
lalu mengapa masih menatap langit jika kau telah dapat jawab
dari setiap pengulangan peristiwa yang sama
dari setiap irama sama yang keluar atas sesuatu yang sama
mungkin aku tak perlu bertanya sama sekali
karena terkadang memang kita tidak diharapkan utk mengerti dan paham semuanya

Lalu kubayangkan langit semalam tanpa bintang dan bulan
hanya aku, khayalanku, kenanganku atas yg lalu, tanyaku, ujung2 gedung pencakar langit yang terbawa cakrawalaku menatap langit, dan lampu2 jalan yang entah bagaimana justru menambah senyap benak
tak kutemukan bintang yg jadi titikku menatap langit
tempatku berharap yang aku sendiri tak mengerti...hanya sarat dengan egoisme roman yang tak berkesudahan
tak kutemukan bintang yang selama ini aku dan dia tunjuk sebagai tempat pertemuan harap kami di langit
apa itu berarti dia telah lelah berharap???
atau aku yang takkan dapat lagi mendapat harapku bersamanya...
entahlah...aku lelah bertanya
mungkin memang aku tak perlu mengerti semuanya
lalu, bisakah siapapun hentikan semua kesamaan ini
setiap kebetulan ini, setiap pengulangan ini
yang selama ini membendung semua tanya ku dan menyusunnya jadi harap
yang kerap hanya menghadirkan kebingungan dan kecemasan
aku tidak mengerti....mungkin aku tak perlu mengerti....
mungkin aku hanya konyol mempermasalahkan semua ini....
mungkin aku hanya perlu dia saat ini

Blrj 16 Juli 2003

Friday, July 11, 2003

Simpang

:Tanty Sahara


Sebuah hati menatapmu diam diam ketika engkau dipersimpangan sibuk bertanya pada nuranimu yang gundah gulana. Jalanan penuh kerikil dan berbatu yang akan menuju kegurun tempat segala kerikil dan batu berada, tetapi tanpa bimbang kau pijakkan kaki lugumu dijalan yang menjanjikan kepedihan diujungnya. Bukankah seharusnya engkau pilih jalan bermarka menuju ladang harapan yang ditawarkan pemuja pemujamu?

Mata angin yang membingungkan meniupkan nasehat bijak ke nuranimu “ berjalanlah dititian hati, ikutkan saja kelok kelok dijalan yang kau setiai”. Dijalan penuh kerikil dan berbatu engkau tersenyum senandungkan kedamaian dari kaki yang telanjang, setia menapaki sejuk tanah berdebu mengikuti setiap kelok, bahagialah menggenangi rongga hati, membunuh setiap iblis yang menjejalkan takut dan kecemasan panjang.

Aku tak peduli kemana jalan ini kan berujung sebab aku tak punya ujung untuk kutuju. Aku akan sampai ditujuanku jika kakiku berhenti melangkah dan hati berhenti bernyanyi, nanti dipersimpangan lain lagi, jika aku sibuk bertanya kepada nuraniku yang gundah gulana…

Kemana akan mencari jalan penuh kerikil dan berdebu…?


Balairaja 11 Juli 2003.