Saturday, September 03, 2005

TIDUR

Puisi ini, anak rohani sang malam
Terlahir pada selembar luka bertinta darah
Ketika iblis menjajah mengumbar kenangan
Sedang hati lelah menunggu kematian datang;
Sebagai kesepakatan ketika kita dilahirkan bunda

Pejamkan mata, dan setan berpesta di kepala
Tak terbilang jumlahnya
Tak terkira tingkahnya
Buka mata, dan api dendam menghanguskan dada
Tak terperi panasnya
Tak terkatakan perihnya

Maka kubiarkan ribuan malam lewat tanpa malaikat
Lewati tidur jadi bayi dalam buaian mimpi;
hanya kemewahan penipu diri

Rumah hampa, 2 September 2005

Kita dan Harapan

:N

Sempat kutanya pada hatimu
Tentang makna keterpurukan ini
“ Tak tahu” jawabmu selalu
Setelah ribuan kata hati kususun jadi filsafat
Menghambur bagai kentut ditelingamu
Aku melihat tangismu
Tangis yang itu itu juga; palsu
Aku mendengar suaramu,
Suara yang itu itu juga; dusta
Aku mendengar tawamu;
Kegirangan atas kehancuranku yang kau sengaja!

Tinggal aku melata tanpa suara
Mengharap duli tuanku bermurah hati
Memberi sedikit pernawar pedih jiwa penduka
Atas luka yang berabad tinggal didalam dada
Aduh tuhan,
Kenapa kesombongan tinggi menjulang
Memandangku hanya si pincang yang pura pura
Membiarkan aku tetap melata menahan perih hati
Sampai mati
Mengharap engkau bermurah hati, sedikit saja membuka mata


Rumah hampa 2 September 2005

Enam Bulan

Dialog menjadi begitu usang
Sedang luka menghitam meneteskan darah
Hati gemetaran berdiri dipersimpangan bimbang
Terjajah oleh waktu yang berlarian meninggalkan
Enam bulan sudah hati gelisah parau berseru
“aku harus melangkah”
Dan kaki nurani tertanam pada batu fikiran

Wahai murka,
Jadilah engaku pertapa atas diri
Gurui aku melihat apa yang tak terlihat
Menjadi tidak munafik atas kebenaran hakiki
Menjadi pintar mengolok kemustahilan demi kemustahilan
Ketika tak ketemukan lagi bulan apalagi matahari
Pada malam malam sepanjang enam bulan belakangan

Adakah aku berdiri dipersimpangan?
Atau hanya hati yang membeku kedinginan?

Rumah Hampa 2 September 2005

Friday, September 02, 2005

Surat Dari Dik Tika

Anak,
Suratmu kubaca; penuh cinta
Tanpa rayu apalagi dusta
Kujawab dengan air mata

Kata rindu jadi beribu ribu
Sebab hanya itu yang engkau tahu
Meluncur dari hatimu yang jujur

Tiga lembar engkau tulis
Tanpa satu jua terkirimkan
“tak tahu dimana bapak berada”
Katamu lugu…

Rumah Hampa, 2 September 2005

Malam

Kucumbu angin yang datang bersama gelap
Telah berabad abad malam mengubur jiwa
Aku menunggu, sesuatu jatuh dari langit kegelapan
Dan usia telah mengapurkan tulang belulang
Tak jua kujumpa pagi bernama pengharapan
Aku lelah
Ijinkan aku tidur ya tuhan…
Dalam satu malam setelah berabad abad dalam gelap…

Rumah hampa 2 September 2005

Hikayat Pendusta

Entah cerita berapa kau suguhkan
Nuranimu diam kutatapi saja
Sedang kebohongan menjadi matrix mengagumkan
Tercatat dalam setiap renungan
Bahkan gerak hanyalah tipuan
; kau yang tertipu!

Ketika tiba saatnya lelah
Menahan laju waktu yang rajin membabati usia
Maka pasrah pada kehendakmu yang pongah menilai
Aku mengalah
Beranjak pergi membawa benih luka yang kau semaikan
Akan kucari langit, mengikuti jejak matahari

Angin telah merindukanku begitu lama
Sedangkan diri tak henti menhiba padamu
hingga tiba saatnya kini
Engkau tersedan meratapi kuburan cinta kita
Dan aku entah berada di angkasa mana


Rumah hampa, 2 September 2005

PULANG

Melata di jalanan, dua abad terlewatkan
dengan dada menetes darah kenangan
pedih sebagai warna ujung belati,
melewati kota kota melulu berisi setan
sawah sawah gersang bercerita tentang roda zaman yang berhenti
; menjadi batu diam

pulang…
Ketempat yang dulu adalah rumah
Ke hati yang dulu adalah teman hidup
Membawa letih perkelahian panjang; hanya gila yang tersisa

Rumah ini tak lagi bernyawa; mati bagaikan angkasa
rindu merana kehilangan warna
Dan hampa hati bukanlah pilihan
sedangkan sederet dusta masih masih engkau jejalkan

Oh rumah,
Maafkan jika tak kutemukan lagi ruang dimana dulu segalanya berpulang
Maafkan jika sekarang tinggal puing kenangan yang meremukkan kehidupan…


Rumah hampa, 1 September 2005