Saturday, December 23, 2006

Kenangan










rindu mengantar fikiran
pada satu jejak tersisa dari ribuan tapak kaki dulu
jalan setapak telah rusah ke taman itu
dan kini tesesat kehilangan arah
diantara tebing tandus pendakian

memandang jauh ke dusun dusun
rumah rumah kayu roboh dipecundangi zaman
ilalang meninggi membunuhi ladang strawberry dan bunga matahari
tinggal merana menyisakan cerita tanpa kata kata
huma dibawah teduh pohon rambutanpun membangkai
perlahan lapuk menghitung usia

dimanakah gerangan penghuninya?
adakah cerita hidup didalamnya terbawa
dalam jiwa siapa saja yang pernah melintasinya?

dari kejauhan
dari ketinggian
yang tampak hanya kenangan
menyisakan rindu tanpa tujuan
di tubir tebing
tak ada yang menunggu
tak ada yang ditunggu
kecuali waktu yang setia mencatat tapak sepatu…

(kupunguti serpihan indah kenangan,
ternyata melukai dinding hati dimana tempatnya tersimpan
darah menetes jadi air mata,
merindukan rasa cinta yang tinggal jadi angan angan
mambias bersama udara tua)


Nutricia, 061222

Thursday, December 21, 2006

Nyanyian udara









hati mengambang
kehilangan pegangan
terbang melayang
mencari damparan
dimana bumi menjadi batu pijakan
nyanyian sumbang
ditinggalkan angin
dan awan gemawan
pergi mencari pemilik hati
lagu puji puji
dan doa dilantunkan
menjadi penerjemah
hati yang mencari
sayap yang lelah
perlahan patah
luruh ke tanan
menjelempah
menunggu musnah

Aku rindu
rasanya
mencintai
seseorang…

PTIK, 061221

Wednesday, November 29, 2006

Nokturnal Jakarta









Malam menenggelamkan bilik bilik ruang Jakarta
Dalam gelap, rasa dipermainkah oleh fikiran
Mencari mangsa untuk diputar putarkan
sampai dimuntahkan.

Iblis iblis berpesta
pada tidur yang sekejap di ambang pagi
mereka meniadakan beda makna
antara siang dan malam hari
antara benderang dan gelap yang pekat.

Mulut terkatup beku
Padahal kata kata berjubelan di keranjang bathin,
meluber sampai ke ubun ubun
dalam serapah yagn terlontar tanpa sadar.
sungguh, bagai zombie yang dipenjara
tak ada beda makna citarasa
suwung, gung liwang liwung
hampa yang tak bertemu batas
garis yang tak bersambung
dan mesin waktu yang belum lagi rusak sistem kerja,
membagi dunia dalam aturan yant tak pernah ada…

Gempol, Akhir November 2006

Monday, October 30, 2006

Sepatu








pakailah ini, Dik…
sepatu hitam dari kulit sapi
biarpun bekas tetaplah pantas (tertulis) buatan Italy
kubeli dengan hati ditepi jalan Pasar Kramatjati
barangkali saja pernah jadi milik seorang selebriti

pakailah coba, Dik…
pergunakan untuk belajar berlari
mengejar lori yang mengangkuti masa mudamu yang tercuri
inilah dunia kasar palagan mengabdi
kepada hidup dan si buah hati
siapa tahu kelak terukir jatidiri
yang telah sekian tahun membuatmu tersesat mencari

pakailah sekarang, Dik…
dan mari belajar menjadi lelaki…

Gempol, 061029

Sunday, August 06, 2006

Pesan

:N

Sepi membelah riuh yang mengayun
di awang awang angan mengapung
jadi ketiadaan
jalanan udara tanpa marka
sedang hati berlari menyambut
berkejaran saling mendekat

“jadilah bijak wahai nurani”
Sebuah pinta meluncur hambar dari lubang kakus
“ tolonglah diam wahai pendurhaka”
Menjawab jiwa terikat dalam compang camping rasa

Kini lihat dan nikmatilah
hidupku yang dihempas hempas
dengan kaki yang kau pincangkan
kemudian beban tak berguna
kau paksakan jadi tanggunganku.
Biar!
Aku ajarkan hati hertahan
melangkah mencari arah
dalam tuntunan malaikatku yang juga iblismu

Kau tahu, telah kau pancung aku jadi debu…

Dilangit antara Surabaya – Jakarta, 060805

Pulang

embun membunuh pagi
dalam gegap langkah kaki
hampa
hampa
hampa
selaksa udara
hampa

tujuan hendak kemana
tak ada kata jadi sapa
sendiri
sunyi
sepi
diam
mati

kepala berisi peluru
bekal menghambur dendam
jadi perkelahian diam diam
seperti ribuan tahun silam
aku pulang wahai siapa
(?)
pemilik hatiku yang tak berpemilik
bahkan alamat tak mampu lagi tereja
pulanglah pulang wahai hati yang bimbang
berlangkah pincang,
rebah ke tanah sampai musim mengangkutmu pergi
hanyut di telan fana bumi
pingitan malaikat baik hati

selamat pulang wahai jiwa yang malang
sambut rindu bukan kepalang
kepada siapa
siapa saja
dalam angan
kelelahan…

Timika – Makasar 060805

Kacang

: n dan n

Kau ingin aku setia?
menjadi pandu bagi jiwamu yang palsu
dengan ribuan filsafat basi
yang tak kau mengerti
menghambur begitu saja bagai aroma kakus
bahkan seribu lisanku telah jadi tertawaanmu
letih aku mengikuti kekacauan angan anganmu
yang tanpa fikiran
berlari menjauh
dari mercu suar nurani
sakit hatipun jadi kemewahan yang kau persembahkan
bagi singkat hidupku
aku hanya jadi fungsi kulit yang melindungai
sampai hara dan humus membawamu pergi
menjulang dalam menara kesombongan yang kau banggakan
menjejak adaku hingga terjerembab
busuk tak berarti.
Semogalah dimuliakan hidupmu selama bernyawa
sampai saatnya kau mati tenggelam
di kolam air mataku…

diatas langit Jakarta, 060805

Wednesday, June 28, 2006

Patah






engaku harus pergi
mencabut rindu yang menjepit kalbu
justru ketika kusandarkan kepalaku
berisi pecahan kaca yang membenalu
ini hatimu
setelah seratus tahun kau titip
lewat jendela langit yang terbuka
bagi siapa saja pejalan longokkan kepala
demikianlah
harus kupunguti serpihan hatiku
yang kau hempaskan dari ketinggian
hingga hancur berantakan
menempel butiran tanah kering
Tidakkah kau lihat ?
belatung berpesta disetiap sisinya yang tersembunyi!
subuh tadi telah gugur lembar daun yang kesekian
jatuh patah ke tanah
tanpa kisah
sisa embun setia menangisi kematianya
jangan lumuri langitku dengan puji puji
yang meracun mata menjadi buta
mengharap hujan yang perawan
sedangkan musim demi musim melintas lamban
hanya ziarah diantara nisan nisan kenangan


gempol, 060627

Sunday, June 25, 2006

Gundah



Pada ludah penuh amarah tertitipkan gundah
lambang dari kemuakan yang membuncah.
Membentur udara lalu menyembur kemuka sendiri
hinanya menghujam hati

Serombongan ingatan datang semaunya
memporak porandakan benteng perlindungan
berdinding kabut sisa keindahan awan dilangit
yang turun ke bumi menjadi imitasi.
Sekonyong konyong saja murka
Mengoyak ngoyak tabir palsu yang menyembunyikan luka,
kebenaran yang semestinya.

Kepura puraan demi ini itu mengandungkan maknanya merugi
melahirkan duri yang kelak akan berakar tetap sebagai duri
memelihara iblis di kandang kenangan dengan jaminan diam.
Malam telah terlalu tua untuk mencabut kata kata
yang tertancap di batu karang waktu.
Menyebabkan pandangan menjadi pecah
jadi butiran tanpa makna,
kehilangan buruan jawaban.
Denyut darah telah menjadi nanah,
mengalir menuju liang tujuan,
kegelapan lain lagi.

Ah, aku rindu kepada kebahagiaan hidup; sang masa silam.

("Don't ever say that!" you said)
Gempol 060624

Monday, June 19, 2006

Sajak Perpisahan








(Tertulis untuk tet)

sajak perpisahan
sudah kukemas harapan
serta hati diceraikan dari sekelompok benih kasih
dan pagi melangkah sendirian
permainkan kekecutan hidup
tiba tiba saja membayang
bagai lakon wayang purwa
melulu kepedihan dan kesedihan

kaki melaju dihadang kenangan kental
baru saja kucium harum nafas kekasihku,
sambil berkisah tentang penghianatan
seperti pengmis menawarkan iba
tertinggal itu semua
jauh ditanah yang jauh
tertinggal lekat dalam dada
dalam kepala,

suara terakhir
senyum terakhir
tangis terakhir
menjadi pahit
dan mengkarang dikandang kenangan

selamat tinggal bekas masa depan…

Teso East, 31 Juli 2002

Saturday, May 27, 2006

Konsesi hati







malam ini engkau bilang
telapak kakimu berdarah tertusuk pucuk ilalang
yang memberontak dari pengab tanah gelap
dalam pengembaraanmu di rimba hatiku
maafkan
aku tak bisa menumpas akar kenangan
yang terbaring dikedalaman angan angan
sebab hanya itu penawar lapar dahaga
bagi semak semak kenangan dan pengalaman
yang bertahun ditinggalkan embun

di sabana kosmos maya
kupasrahkan serpihan jiwa kepada sesiapa,
sesekali berharap elang pengembara akan datang bersarang
membawa kembali kehidupan yang hanyut
oleh guyuran awan panas masa silam


tidakkah engkau saksikan?
pohon pohon teduhan sekarat disana sini
teraniaya dan hangus oleh bencana.
mengharap hujanpun yang datang badai asam
menggarami luka demi luka yang terabaikan
hanya tersisa bukit kapur
dengan tonggak tonggak sisa kehidupan
dan
pucuk pucuk ilalang yang mencambah
dari pengab tanah gelap…

gempol, fajar 060527

Thursday, May 25, 2006

Symptom kehilangan









Dendam menyeret kedalam kegelapan
Tersesat didalam rimba ketidak mengertian
Hingga terdampar di keterpencilan
Lepas balon mendesak dada
mengakui kemenangan sang kalah
Terbebaskan dari penjara

Di dunia penuh kegelapan
Kita semua perlu cahaya
Kita semua memerlukan sesuatu untuk melewati malam
Meskipun hanya sekedar secercah harapan

Badan mati kehabisan asa
Di ubun ubun iblis berkerumun
Tinggal bunyi hujan tangisi malam…

Gempol menjelang pagi, 060525

Saturday, May 13, 2006

Kosong


kusapa ruang ruang kosong

tempat kebekuan menjadi dinding

peisimis langkah punguti serpihan masa silam

kurangkai kolase dari potongan kenangan

tinggal menyederhana sebagian telupakan

Angin melintas disela batang trembesi

menyambut lembut pada dada yang kerompang

miskin harapan

menatap tinggi menara

tempat dimana satu cuil sejarah pernah diukir

nafas hampa meratapi dinding

mengharap jawaban dari selusin pertanyaan menggema.

Senja ini,

Aku menyakisikan hujan

begitu bebas berkeliaran di langit,

mungkin letih bersetubuh dengan petir.

menghempas di permukaan beton

lalu ceria mengangkuti debu kota ke paru paruku.

Secangkir coklat panas lewat di kerongkongan

tanpa kesan

dan tanyaku menghambur

tanpa jawaban…

Mega Kuningan ketika kekosongan merajai hati 060512

Hujan suatu petang


Dilangit kubaca hujan,

kisah perkawinan iblis jantan dan betina

untuk pestanya petir menyincang sejuk angkasa

menjadi butiran air mata,

beku menghempas aspal dan trotoar

untuk mengangkuti caci maki dan kutukan,

berharap lekaslah lesap dibalik akar angsana yang menggigil sunyi.

Pekat udara mematikan harapan,

mengapungkan satu demi satu goresan luka

yang lama kutenggelamkan menjadi pijakan kaki dilumpur kalbu.

Tak sanggup lagi kutipu darah yang menetes dan menyusuri perihnya,

maka runtuh sudah ruang dimana duka lara kupenjara.

aku diam,

menghayati angkara yang perkasa mengoyak jubah

diangkasa yang hitam tawa dan hinaan menjajah batin

melumpuhkan perjalanan

sungguh aku letih

memunguti serpihan hati yang berceceran

kini menggenang diselokan ingatan

bersama keruh bangkai hujan

Gempol ketika murka tak mau pergi dari hati 060513

Tuesday, May 09, 2006

Nanyian tidur

:Fei





Menggenang angin malam musim kering dikotaku,
mengantarkan percakapan tidur
tentang kerinduan demi kerinduan
kita tabungkan jadi kenangan,
bebarpa kandas menjadi harapan semata.
Namun tetap kujaga dan pelihara,
rasa yang sejak purba kita punya; cinta yang tak pura pura.

Dikotaku,
Senyummu mengambang dilangit berwarna abu abu
bersama sisa jejak rembulan tiga perempat lingkaran
bau tubuhmu menghampiri syaraf dan menggigilkan jasadku
berdiri gemetar bimbang
diantara puing puing kebahagiaan
; kerangka labil bagi kemuliaan kehidupan.

Di langit kotaku, kupandang wajahmu sendu
Kita berdiri saling membatu
merabai bangkai waktu yang menjelempah penuh darah
Penganiayaan atas kesejatian bentuk keinginan…

Kita saling berpandangan
Dari kejauhan
hingga fajar datang membuyarkan…

Selamat tidur sayang,
semoga cinta yang tak cukup terangkai dalam kata kata ini
menaburkan sedikit saja sejuk bagi gersang hatimu…

gempol, 060509

Friday, May 05, 2006

Datang dan pergimu










Engkau bertemu laut malam ini
engkau menyapa kelam
hanya angan berisi mayat kenangan
datangmu bagai angin ketika fajar menyingsing
dan pergi setelah gelap mengkonfirmasi keberadaan senja

Tolong sampaikan kepada buih pantai
aku rindu pada hidupku
ketika sanggup kulukis rembulan
di kanvas angin hitam
kucatat kisah perjalanan jadi puisi peringatan

Sepotong daratan terapung membawamu menjauh,
mengangkut kehidupan
yang melulu berisi pertemuan dan perpisahan,
berisi teka teki harapan dan catatan kenangan,
sebagian tercecer di buritan adalah penyesalan

Engaku pergi meninggalkan gemuruh,
Aku ada, entah dimana…

(Gempol, 060415 - sebuah catatan kecil untuk peri sebelah hati yang datang dan pergi hari ini)

Tuesday, April 04, 2006

Malam terbelah dua








Malam terbelah dua
perlahan dalam beku
mengurung dengan kebisuan sempurna.
kaki hati memijak di dua pulau berbeda
mengangkangi selat
tempat kehidupan ramai menjombak
korban korban angkara murka menjelempah
menjadi hiasan berita esok hari

malam terbelah dua
mengabaikan bulan sabit
kesepian melukis langit
awan gemawan terjemahkan sepi
mengambang melintasi mimpi
rindu yang meneracap di palung kalbu
tertanam dalam sumur tanpa dasar
kebingungan alamat pelimpahan

malam terbelah dua
membutakan pemberontakan
atas keberadaan dan harapan mandul
atas keinginan yang lama diperbincangkan
kemudian berujung pada pemujaan atas kenangan

malam terbelah dua
berisi kesempurnaan hampa…


gempol, 060403

Sunday, April 02, 2006

Sesal

:Kartika Mumpuni








pandangan beningmu sarat dengan ketakutan
kabur oleh tangis yang terbendung pahit
tersambar oleh iblis bengis yang melintas kepalaku
yang tak sanggup untuk engkau ekspresikan
tersudut dipojok keramaian
yang bukan milikmu
dalam pemenuhan keinginan
yang menjadikan beban tiba tibamu

engkau jadi sendirian
kehilangan kekasih dan teman sepermainan
sesekali memandang takut dari kejauhan
dengan gemuruh batin menawarkan perdamaian
kehilangan kata penyesalan
aku lumpuh tertikam amarah
permainan dunia orang tua
dan hati melengking keras membahasakan kepiluan
yang kau mengerti maknanya dengan sempurna.

Kekuatankupun terbatas
menjadi kekasih dan pagar pelindung rapuhmu, nak
sekaligus memerangi iblis piaraan ibumu

Maafkan aku,
yang memperkenalkan badai dalam dunia fantasimu
puisiku menterjamahkan sesal
bukti rasa cintaku
yang melebihi cintaku kepada siapapun dimuka bumi
padamu

biarkan air mata menemani sedih penyesalanku…


Ambar Tirta TMII, 060402

Wednesday, March 29, 2006

Gerimis Malam








Gerimis menghela hati mencari
dingin menyempurnakan rindu
udara beku oleh kesepian
mati kaku dalam penjara ruang
titik titik air merintih
membentur angin tanpa penyambutan
malam ini hujan jatuh dibumi yang salah
ketika cinta hanya kemewahan tak bertuan
gemericiknya menuturkan lara
kisah empiris yang tak terbaca

wahai gelap, melintaslah cepat
agar aku dapat
melihat perih yang kucatatat
dalam pekat…



Gempol, dibawah gerimis lewat tengah malam 060329

Tuesday, March 28, 2006

Membaca rindu


Diangkasa kata kata mengalir
bahasa luka yang tertoreh
mencoba dialog antara kekosongan
sempurna mentahbiskan kehilangan
; menterjemahkan rindu

pejalan punguti puing kenangannya,
mengantunginya jadikan jimat pengingakaran
sedangkan tetes tetes embun terbunuh
oleh matahari yang meninggi
meninggalkan bumi
lolong kesedihan tak tertahankan
terhamburkan pada dunia
melulu berisi gurun pasir hitam
dengan angin yang tak henti menerpa datang dari utara

Berteriaklah wahai sang perindu,
biarkan dunia mendengar perihmu,
perih yang indah yang hanya pantas untuk disembunyikan,
bahasakan kejujuran
meski hanya iba akan jadi tamu penghuni ruang senyap hatimu…


Gempol, 060327

Friday, March 24, 2006

Catatan hujan = romansa sepi







….
rusuh fikiran
mematikan percintaan
mati sebadan
hanya kenangan
datang ribuan

sepi mengigil
rindu membuncah
entah siapa
siapa saja
hati mencari
logika kecewa
sia sia

diam hujan
melahirkan renungan
jejak fikiran
tangisi malam
kehilangan tuhan

hujan malam
sepi rindu
hampa tak bertuan


Gempol, 060324

Rindu Pulang








Aku rindu rasanya pulang,
berteduh dirumah kalbu yang menenteramkan
meletakkan ribuan ton beban kecemasan;
hanya diri mengigil digerbang pagar
menatap kepada gelap sang harap

Badai telah menyapu rumahku,
dimana ruh kebahagiaan lahir dari ketiadaan dulu
Demikian juga pemukiman hatiku
atapnya porak poranda
Aku telah terlalu lama tersesat
terdampar di gurun gersang
Yang hanya berisi mimpi mimpi
buah dari kebingungan sang otak mencerna kejadian demi kejadian

Aku rindu rasanya pulang,
Ke rumah dimana selalu kutemukan cinta sebagai persembahan
Tapi sekarang berganti sudah
menjadi cerita menyakitan
Yang tak sanggup kutebus hanya dengan semiliar puisi gubahan hati

Kemana harus kutempuh jalan?
Ah aku telah kehilangan jejak kenangan…
Pun tak punya tempat tujuan

Aku rindu, pulang kerumahMu, tuhan…


Gempol, ketika hujan menangisi malam 060323

Tuesday, March 21, 2006

Menterjemahkan angin









Membaca angin yang berlarian
kujilati sisa bayanganmu yang terhambur
bersama bingung musim kemarau
gelembung rasa yang kita puja
menjadi tersesat dipermainkan ingin
betapa lelah kita wahai putri,
membendung kemustahilan yang sengaja kita ingkari
rumah kita jadi reot
setelah sekian abad ditinggal pergi berperang
sedangkan engkau berharap aku kembali
membawa sekeranjang kembang
maka derau angin telah kehilangan nada
; cara hatimu memanggil ruhku
dibumiku aku hanya temukan luka yang mengambang mengisi udara
dengan jejak jejak perjalanan sebagai penghibur harapan

menterjemahkan angin kotamu yang melintas cepat diwajahku
aku membaca dialog yang membeku tanpa sanggup tereja
hanya menunggu isyarat dari hati yang sama sama sekarat
sekedar menanda bahwa rindu masih saja pekat mengikat

“aku hanya rindu pangeranku
yang dulu setia membawakan aku sejuk embun
ketika pagi datang menyerbu”

Ucapmu pada senja yang menghilang dikegelapan
…dan angin kotamu yang melintas cepat diwajahku,
tak mampu menyampaikan pesan
kecuali sorot mata beningmu
membatu menungguku….disana.

Gempol, 060320

Tuesday, March 07, 2006

Buntu




aku tak punya kata kata
yang ingin kuucapkan kepada dunia
fikiranku terkurung hujan
dan senyummu jadi dinding membayang

aku tak bisa kemana mana,
kecuali mengurai kenangan atasmu
dan merindui bau tubuhmu
yang sewangi aroma tanah merah ketika hujan

sungguh,
aku tak punya kata kata
hanya hati belaka…


Glassbox, 070306

Thursday, February 16, 2006

Antologi segelas kopi



Tiba tiba aku rindu rasanya perih
Maka dengan ujung belati kuundang luka
Sekedar garis merah merembeskan getah dari balik kulit ari
Pengobat rindu pada kepedihan palsu yang lama kutunggu

Segelas kopi dini hari
Menjadi satusatunya teman sejati
Sebab bumi tertidur dalam selimut mimpi
Juga kegelisahan yang ditahankan barangkali,
aku tak tahu
penat kepala menahan duka
menjadi berat oleh usus besar yang hampa udara
biar sebentar lagi kembung akan menghampiri,
lagi lagi sekedar kepedihan palsu aroma masalalu belaka

limapuluh goresan dilengan kiri
tak jua datangkan nyeri
pedang menggantung diruang tamu
tersenyum menggoda untuk ditelanjangi
lalu disetubuhi sampai darah menghambur menyempunakan kedustaan luka luka
sebab hatilah yang perih tersayat sesungguhnya…
nyerinya sungguh tak kira kira

segelas kopi teman sejati,
hanya diam menggigil menunggu pagi
bersama hati yang entah hidup entah mati…
malam ini…



Gempol, 060215

Kalah









demikianlah sejarah,
maka sebelum diri menyerah
memberontak murka pada keyakinan goyah
tersisa dirongga kepala gejolak kawah
jadi amarah
jadi sumpah serapah
tabir penutup bagi hati yang kalah

hari ini aku melihat darah
tumpah
dari jantungku yang bernanah
pecah


Gempol 060214

Wednesday, February 15, 2006

nyanyian darah









betapa indah darah
ketika air mata tak lagi sanggup tumpah
terimakasih wahai iblis
yang mengantarkan beling kemeja kerja
untukku menyayat secuil daging

tangan, kaki dan mataku tak lagi ada
sebab jantung terenggut sia sia
aku tak akan mati hanya oleh penganiayaan bathin
sebab itu hanya cerita isi dunia
tentang perkelahian si jahat dan si baik
atau terkadang si jahat dan si jahat

kenapa berhenti menyanyi wahai darah?
teruslah engkau mengalunkan tlutur, mengasihani diri
agar menggema disetiap lorong dimana malaikat terbirit birit menyongsong
sebagian untuk menyokong
berebut kepentingan dalam kepentinganya
tolong jangan hentikan lagumu
agar bisa kuresapi anyir yang membumbung
dan kutuang dalam puisiku
yang tak tereja oleh siapapun yang membaca
kecuali sekeping hati yang mencipta

ya…
aku dengar simfoni mengalun lembut membuai hati
bersama tetes demi tetes warna pekat yang merayap
menyelubungi segala bentuk lengan kiri
simfoni tanpa pola
mengalun liar menterjemahkan lara
bahwa hidup masihlah ada
meninggalkan jejak mengering ketika hari yang baru tiba…


Gempol 060215

Saturday, February 04, 2006

Bimbang


Aku menjadi biduk tanpa penumpang,
yang tersesat kehilangan tujuan
engkau karang itu
tempatku berteduh dari badai dan gelombang
terombang ambing dan tersandar disisimu
bersekutu dengan tajam setiap sisimu

tapi engkau tak kutemukan
atau mungkin aku yang sempurna tenggelam (?)

Gempol, 060203

Sunday, January 15, 2006

Gemuruh








Something big is coming.

Kaki masih membatu,
terjejak ditepi persimpangan jalan
ketika gemuruh mendekati,
suaranya menggigilkan nyali,
aromanya merontokkan kesombongan diri,
dan bayanganya melumpuhkan seluruh urat syaraf.
Hampa membahana.

Kita berniat,
mengencangkan kuda kuda dan menahan benturannya
ketika nanti dia datang menghambur.
Tetap berdiri menghadapi,
dengan ketakutan yang kita sembunyikan
diam diam.

Akankah kita bertahan?
Tetap berdiri dimana kaki berpijak kini
Ataukah hilang ditelan arus kuat sang gemuruh?

Dan kita hanya menemukan kebisuan,
Menahan perih ketakutan yang terpendam


Simatupang, 060114 – 0121hrs

Thursday, January 12, 2006

Perpisahan kesekian


Sepotong hati yang membiru,
lemah tersampir didadamu
rantingya patah, mengucurkan getah
Maaf jika bra mu basah oleh air mata yang tumpah,
lalu kesedihan menggenangi ruang
kita membeku dalam ode diam
erat berpelukan

dadamu menjelma lembah
menampung hujan badai keluh kesah
disana aku rebah
menghirup sejuk teduh jiwamu

Tolong jangan katakan,
Bahwa kita kan berpisahan…
Hanya untuk
Malam ini saja…

Kost simatupang, 060111 – 2335hrs

Monday, January 09, 2006

Kelu







:HF

Hati kelu,
diam membisu
Kata kata beku,
mati kehilangan nuansa.

Kususuri jejak kenangan
lewat malam yang mengurung tenang,
seperti kejadian seribu tahun pengembaraan
dimana semua orang datang dan pergi sepanjang zaman,
meninggalkan tangis bahkan harapan
yang menjadi benih tanaman di kebun rahasia hati.

Dalam selimut murung,
kuikuti pergimu dengan kesedihan
bagaikan karang tajam yang kujejaki perlahan
menyusuri pagi dalam gelap.
Selamat jalan wahai puteri jelmaan dewi kayangan.
Baumu tertinggal jadi prasasti dalam ingatan,
renyah tawa dan lembut sentuhmu membunuhi sepiku
yang mengalir bersama darah ditubuh.

Lampu lampu jalanan menangis tertikam pergimu,
bersama gerimis dan angin liar
gelisah mengejar laju langkahmu.
Aku tersesat dalam padan lumpur bernama duka,
takjub oleh kejadian demi kejadian bagai dongengan

“aku benci perpisahan…” ucapmu sendu…
Membekas jadi benalu dikakiku…

Gambir – Simatupang 060108

Sunday, January 08, 2006

Departure










:N

Akhirnya aku harus pergi.
Berangkat menjemput jubah malaikatku
yang kutanggalkan dengan marah dulu.
Engkau menyerah,
pertahananmu lepas
sampai kotoran terakhir kau lemparkan padaku.
Tinggal nurani yang tersisa,
begitu semestinya.

Akhirnya aku harus pergi
ketika diri menjelma sebutir debu milik langit,
Dan engkau sadar
hanya si debulah satu satunya yang peduli


Masih bermaknakah pasrah?
Ketika diri telah lama menyerah…


Kost, 060114 – 0105hrs