Saturday, December 24, 2005

Kisah selembar bulu elang

Mata angin tersesat kehilangan arah
terperosok dilubang abu abu bernama angkasa
selembar bulu elang gugur dari kegagahanya,
mengambang melayang tanpa daya,
berputar dan mengayun dipermainkan ingin
mati suri dalam dekapan beku
kehilangan makna gravitasi yang hakiki

ia melayang tanpa beban
kembali kepada rel bernama kegagalan
membawa hati yang berkeringatan dingin
mencari dasar langit batu pijakan
ribuan tahun dalam penantian
melewati musim demi musim yang melapukkan
selembar bulu elang menembus gelap ketika rintik hujan
tersesat diawang awing tak bertuan
…kelelahan…

Kantor, ketika mendung pekat mengurung Jakarta pada akhir minggu 23 Desember 2005, 1740hrs

Thursday, December 15, 2005

Luka


Hati menjerit dalam diam yang menggenang
bisu meraja ketika nyeri membabibuta
luka datang seperti matahari yang menyapa ubun ubun
sesukanya menjajah logika
mematikan percintaan
luruh dan membusuk dalam dekapan masasilam...
hancur semata...

kantor, ketika tiba tiba iblis kenangan memadamkan matahari

Tuesday, December 13, 2005

Rindu


Aku rindu tangan mungilmu
memunguti serpihan kenangan yang menghancurkanku,
menyusunya menjadi bentuk materi milikku
yang kau paksakan sebagai kebahagiaan
sedang kumaknai menjadi pot pot puzzle yang hilang disana sini.

Aku rindu pada usapanmu dikepala
yang merontokkan koreng diotakku,
mengantarku tidur dalam hangat ketiakmu,
membiarkan aku menjadi bayi raksasa
dalam lelaan kasih sayang yang menjalar dari setiap jari jemarimu.

Aku rindu mulut mungilmu
yang bercerita tentang kegelisahan tidurku yang kau catat dalam buku hatimu,
lalu membacakan kembali kepadaku ketika aku terbangun dalam pelukanmu.
Pada setiap kata kata yang membuatku menjadi ada dan bermakna.

Aku rindu pada senyumanmu
yang melumpuhkan keangkuhanku,
yang mengajarkan kaki melangkah menjejaki jalan jalan terjal tuntutan hati,
menelusuri petualangan berisi keperihan dan keindahan diam diam.

Aku rindu pada tatapanmu
yang menenggelamkanku dikolam kasih sayangmu,
menjadikanku laki laki atas bukan sekedar mimpi siang hari.

Aku rindu pada bau nafasmu
yang meniadakan jarak antara dua hati kita…

Kost Simatupang, 13 Desember 2005

Friday, December 09, 2005

Pagi Stasiun Gambir

Embun terakhir luruh dipelataran parkir
lesap ditelan celah beton stasiun Gambir
Gerbong gerbong mengusung letih dan harapan
berbaur dalam warna subuh yang kumuh
Kereta datang dan pergi
menawarkan keberangkatan dan kedatangan,
pertemuan dan perpisahan,
kegembiraan dan tangis kepedihan;
kontradiksi hidup stasiun kereta sepanjang zaman

Satu ciuman menyambut ketika engkau termangu ragu,
mengeja ajakan hati menyusuri kemauan duniawi.
pagi ini, logika telah mati suri - lagi…

Menyusur Jakarta yang tertidur,
seperti menjelajahi tubuh betara kala yang terlelap inci demi inci.
Didepan tanpa rute,
dan tas punggung kosong oleh beban kenangan.
Secangkir coklat panas dunkin donut,
dan segudang cerita yang menghambur tetap saja meredupkan semua bentuk rencana. Kita akan berjalan,
dititian hati berisi cinta dan kebahagiaan.

Lihatlah kita,
pemudik yang kebingungan mencari kampung halamanya yang tak pernah ada,
dimana kita akan pulang menuju rumah hati hari ini,
bukan membangunnya untuk masa depan.
Kita akan pulang kemanapun hati menggembalakan keinginan
…kerumah hati dimana tak ada dendam dan janji masadepan.

Tetaplah peluk tubuhku dari belakang,
ajari hati melangkah tanpa kecemasan…

Stasiun Gambir 9 Desember 2005

Friday, December 02, 2005

Jalani saja.


Mendung mengurung bumi
Tanah pemakaman menyembunyikan rahasianya yang sempurna,
begitu diam.
Jarak tempuh kedepan hampa tanpa jawaban.
Jalani saja…
jalani saja…
kata sang hati dari kesunyian tanpa kata kata.
Jalani saja,
betapapun logika memperdaya keyakinan diri…
jalani saja,
nikmati romantisme perjalanan dengan hati tercabik oleh perpisahan….

Diatas PJP - Kartasura, 1 Desember 2005