Ayolah hati…
bedakan mimpi dan kehidupan meski sama sama buruk memperlakukan.
Mimpi hanya buah fikiran, tak terjangkau oleh simpati.
Dan kehidupan hanyalah konskwensi fikiran; tak tersentuh mimpi
Jangan ajari aku mengingkari kepedihan yang datang
ketika tidur maupun terjaga; itu itu saja warnanya.
Tapi ajarkan aku memahami hidup yang harus kuhabiskan.
pengingkaran hanya siksaan, terima dan telan semua adalah pilihan.
Tak ada ruang untuk sembunyi,
sebab mimpi buruk adalah kenyataan itu sendiri…
Jakarta, 28 Agustus 2005
puisi adalah anak rohani yang lahir dari kedalaman hati, jujur menterjemahkan makna fikiran
Monday, August 29, 2005
Menyerah
Akhirnya aku menyerah pada jiwamu yang pongah.
Pada keangkuhan kehendakmu yang menjulang.
Aku menyerah membiarkan diri terjajah oleh muslihatmu.
Letih hati mencari kompromi atas kedangkalan dan penalaran impulisifmu.
Ternyata sia sia mengingkari kebanggaanku yang ambruk menghujam kaki.
Tak ada satupun kalori tersis pada darahku,
Maka aku pasrah menjadi tawanan atas ahlakmu
dipenjara pengab berdinding dendam dan berlantai kekecewaan.
Aku menyerah ketika tak ada satu katapun bermakna sebagai kalimat,
hanya kentut ketika engkau bangun dari tidur dipagi hari belaka.
Aku menyerah ketika tak ada lagi asa menetes dalam otakku
Pada bathin yang bangkrut oleh peperangan panjang diam diam…
Jakarta, 28 August 2005
Pada keangkuhan kehendakmu yang menjulang.
Aku menyerah membiarkan diri terjajah oleh muslihatmu.
Letih hati mencari kompromi atas kedangkalan dan penalaran impulisifmu.
Ternyata sia sia mengingkari kebanggaanku yang ambruk menghujam kaki.
Tak ada satupun kalori tersis pada darahku,
Maka aku pasrah menjadi tawanan atas ahlakmu
dipenjara pengab berdinding dendam dan berlantai kekecewaan.
Aku menyerah ketika tak ada satu katapun bermakna sebagai kalimat,
hanya kentut ketika engkau bangun dari tidur dipagi hari belaka.
Aku menyerah ketika tak ada lagi asa menetes dalam otakku
Pada bathin yang bangkrut oleh peperangan panjang diam diam…
Jakarta, 28 August 2005
Aku masih hidup
Padamu tengah kubangunkan satu gunung kebanggaan,
berkerangka mimpi dan jutaan harapan
sebagai investasi sosial yang membanggakan.
Peluh belum lagi kering,
penat belum lagi pergi,
Engkau melilitkan dinamit disetiap lerengnya
Justru ketika aku gigih membangunya inci demi inci untuk kita.
Penghianatanmu meledakkan gunung kebanggaanku,
Hancur menimbun jalinan ruhku
ketika aku baru saja hendak tetirah dari waktu yang tak henti memburu
yang kau rontokkan hanya dengan sekali picu.
dihimpit jutaan ton amarah dan cadas tajam pengalaman.
aku masih hidup!
Dan engkau,
diluar sana entah menari,
entah menyanyi,
berpesta birahi diatas puing puingnya,
diatas darah dan dagingku yang tertanam diam.
Aku masih hidup terkubur kesedihan.
menikmati nyanyi dan tawamu ditimpahi suara laki laki; kekasih hatimu
Engkaupun tahu, aku megap megap hampir sekarat
Teruskan berpesta,
Tuntaskan tawamu,
biar kutunggu
seratus tahun sampai angin mengikis bebanku,
atau ribuan musim mengangkutinya pergi,
hingga aku mampu bangkit dan berdiri lagi,
membangun gunung kebanggaan lain lagi,
entah untuk siapa…
Sebab aku masih hidup, meski tanpa jiwa!
Jakarta, August 28, 2005
berkerangka mimpi dan jutaan harapan
sebagai investasi sosial yang membanggakan.
Peluh belum lagi kering,
penat belum lagi pergi,
Engkau melilitkan dinamit disetiap lerengnya
Justru ketika aku gigih membangunya inci demi inci untuk kita.
Penghianatanmu meledakkan gunung kebanggaanku,
Hancur menimbun jalinan ruhku
ketika aku baru saja hendak tetirah dari waktu yang tak henti memburu
yang kau rontokkan hanya dengan sekali picu.
dihimpit jutaan ton amarah dan cadas tajam pengalaman.
aku masih hidup!
Dan engkau,
diluar sana entah menari,
entah menyanyi,
berpesta birahi diatas puing puingnya,
diatas darah dan dagingku yang tertanam diam.
Aku masih hidup terkubur kesedihan.
menikmati nyanyi dan tawamu ditimpahi suara laki laki; kekasih hatimu
Engkaupun tahu, aku megap megap hampir sekarat
Teruskan berpesta,
Tuntaskan tawamu,
biar kutunggu
seratus tahun sampai angin mengikis bebanku,
atau ribuan musim mengangkutinya pergi,
hingga aku mampu bangkit dan berdiri lagi,
membangun gunung kebanggaan lain lagi,
entah untuk siapa…
Sebab aku masih hidup, meski tanpa jiwa!
Jakarta, August 28, 2005
Sunday, August 28, 2005
Pengembaraan Maya
Di sabana kosmos maya aku mengembara
membawa luka pada pintu pintu yang terbuka.
Melagukan keluhan pada jendela jendela
Mata mata mengintip diam diam.
semoga tak ada kepalsuan,
yang rajin kutemui dalam bungkus kemuliaan.
Kubawa kejujuran sebagai hukum materi
dan pedang rasionalitas tajam terhunus ditangan.
Rumah rumah jiwa berderetan,
gelap seperti tak bertuan.
Inikah dunia pengingkaran yang rajin dibanggakan?
dimana panca indera tak dibutuhkan.
jiwa jiwa yang menjadi hantu bagi kehidupan nyata,
berkeliaran mengingkari bentuk.
Dengan emoticon lambang kepura puraan sebagai symbol simpati
Pada pintu pintu yang terbuka kutawarkan
Ternyata hanya langit yang menganga
Tak kutemukan rumah jiwa beratap kepribadian
Kecuali rintihan samar samar
entah nyata entah bohong
Jakarta 28 Agustus 2005
membawa luka pada pintu pintu yang terbuka.
Melagukan keluhan pada jendela jendela
Mata mata mengintip diam diam.
semoga tak ada kepalsuan,
yang rajin kutemui dalam bungkus kemuliaan.
Kubawa kejujuran sebagai hukum materi
dan pedang rasionalitas tajam terhunus ditangan.
Rumah rumah jiwa berderetan,
gelap seperti tak bertuan.
Inikah dunia pengingkaran yang rajin dibanggakan?
dimana panca indera tak dibutuhkan.
jiwa jiwa yang menjadi hantu bagi kehidupan nyata,
berkeliaran mengingkari bentuk.
Dengan emoticon lambang kepura puraan sebagai symbol simpati
Pada pintu pintu yang terbuka kutawarkan
Ternyata hanya langit yang menganga
Tak kutemukan rumah jiwa beratap kepribadian
Kecuali rintihan samar samar
entah nyata entah bohong
Jakarta 28 Agustus 2005
Definisi cinta
apa definisi cinta setelah usia merampas setiap tunas kesempatan?
Tatapan mata yang teduh merayu?
atau
Perhatian yang membanjir membutakan logika?
atau
Kata kata yang melentingkan khayalan?
atau
Pertemuan pertemuan yang menyenangkan?
atau
Kesepakatan kesepakatan yang dirahasiakan?
atau
Kehidupan yang bagaikan cerita cerita telenovela?
atau
Gelegak birahi hati yang terpuaskan?
atau
Sekedar petualangan dari hati ke hati?
atau
Manivestasi air mata?
atau
Penobatan diri sebagai pahlawan?
atau
Karya seni atas kuasa bohong?
atau
Pengakuan untuk nilai diri?
atau
Kejujuran yang menaklukkan?
Bagiku,
Cinta adalah madu beracun bagi kehidupan…
Dia manis dan mematikan!
Jakarta, 28 Agustus 2005
Tatapan mata yang teduh merayu?
atau
Perhatian yang membanjir membutakan logika?
atau
Kata kata yang melentingkan khayalan?
atau
Pertemuan pertemuan yang menyenangkan?
atau
Kesepakatan kesepakatan yang dirahasiakan?
atau
Kehidupan yang bagaikan cerita cerita telenovela?
atau
Gelegak birahi hati yang terpuaskan?
atau
Sekedar petualangan dari hati ke hati?
atau
Manivestasi air mata?
atau
Penobatan diri sebagai pahlawan?
atau
Karya seni atas kuasa bohong?
atau
Pengakuan untuk nilai diri?
atau
Kejujuran yang menaklukkan?
Bagiku,
Cinta adalah madu beracun bagi kehidupan…
Dia manis dan mematikan!
Jakarta, 28 Agustus 2005
Friday, August 26, 2005
Pagi abu abu
Malam telah terusir.
Pagi ini terkurung hampa,
sunyi dan beku semata.
Apa hendak berlaku nanti,
apa tragedi untuk hari ini?
Apa adakah kajaiban kali ini?
Adakah tersisa ruangan untuk rencana?
Kosong melompong!
Hancur tak berbelas kasihan!
Tinggal pertanyaan membentur langit
Matahari abu abu,
ragu menuntun hari berjalan.
Menatap pada dinding dinding batu,
mencoba bertanya apa yang bakal berlaku.
Perut lapar bukanlah hiburan,
dan Tuhan entah ada dimana.
Selamat pagi wahai dunia...
Jatipadang, 26 Agustus 2005
Pagi ini terkurung hampa,
sunyi dan beku semata.
Apa hendak berlaku nanti,
apa tragedi untuk hari ini?
Apa adakah kajaiban kali ini?
Adakah tersisa ruangan untuk rencana?
Kosong melompong!
Hancur tak berbelas kasihan!
Tinggal pertanyaan membentur langit
Matahari abu abu,
ragu menuntun hari berjalan.
Menatap pada dinding dinding batu,
mencoba bertanya apa yang bakal berlaku.
Perut lapar bukanlah hiburan,
dan Tuhan entah ada dimana.
Selamat pagi wahai dunia...
Jatipadang, 26 Agustus 2005
Wednesday, August 24, 2005
Terimakasih
:N
Duhai kekasih hati,
dengan puisi kugubah terimakasih,
atas pasir beling yang kau berikan cuma cuma padaku
- lima bulan lalu -
menghambur abadi dalam darah dan otak
sebagai prasasti cintaku padamu…
Duhai kekasih hati,
dengan puisi kugubah terimakasih,
atas pasir beling yang kau berikan cuma cuma padaku
- lima bulan lalu -
menghambur abadi dalam darah dan otak
sebagai prasasti cintaku padamu…
Tuesday, August 23, 2005
Mencari Langit
tangisku pecah bersama senja yang jatuh
diantara gedung gedung berdebu
malam membawa iblis yang keji mencabik hati
hari ini telah kulewati kekosongan kesekian kali,
pun aku tak bisa berteman dengan rasa
semangatku rubuh dalam kubangan kenangan
sia sia jua kusesali semua.
Udara berwarna kelabu dan hanya kelabu
Angkasa adalah lubang luka yang menganga diam
Duka ini kadang begitu menenteramkan
ketika tak ada ruang
hanya hampa
sedang tangispun menjadi nyanyi puji puji
“aku tak lagi peduli pada iblis dan nabi nabi jika toh hanya batu nisan yang setia jadi catatan.
aku tak lagi peduli pada nurani dan betapapun tajam pedang logika, jika toh hanya keculasan jadi pemenang”
Sebutir air mata terakhir jatuh,
menghela langkah hati mencari langit;
batas yang tiada batas atas segala kefanaan dunia….
Jakarta, 23 Agustus 2005
diantara gedung gedung berdebu
malam membawa iblis yang keji mencabik hati
hari ini telah kulewati kekosongan kesekian kali,
pun aku tak bisa berteman dengan rasa
semangatku rubuh dalam kubangan kenangan
sia sia jua kusesali semua.
Udara berwarna kelabu dan hanya kelabu
Angkasa adalah lubang luka yang menganga diam
Duka ini kadang begitu menenteramkan
ketika tak ada ruang
hanya hampa
sedang tangispun menjadi nyanyi puji puji
“aku tak lagi peduli pada iblis dan nabi nabi jika toh hanya batu nisan yang setia jadi catatan.
aku tak lagi peduli pada nurani dan betapapun tajam pedang logika, jika toh hanya keculasan jadi pemenang”
Sebutir air mata terakhir jatuh,
menghela langkah hati mencari langit;
batas yang tiada batas atas segala kefanaan dunia….
Jakarta, 23 Agustus 2005
Wednesday, August 17, 2005
Gugur
: Tetet
Daun hatiku menguning
gugur dan rebah ketanah dari pokok pohon jiwamu yang membintang
bersama perih yang menggenang diam telah kukemas kenangan
sebelum pergi menjauh,
sebelum engkau menyempurnakan hampa…
Kau berangkat menghilang, menumpang mimpi yang kau paksakan
(?)
aku turut berbahagia sekarang
sebab akupun tak sanggup memberimu keharusan
bahkan bau jejakmupun hapus oleh rusuh fikiranku
ternyata mudah bagimu menancapkan nisan pengalaman
pada kubur bernama kenangan
memetik buah dari kemeranaan yang kau sembunyikan diam diam
(mungkin sempat aku terbagi secuil kue kemeranaanmu itu)
sekaligus pupus nilai kebajikan yang sama sama kita tanam
lepas sudah ruh dari jalinan jiwa ,
lesap semata rupanya
…aku menjadi anak itik yang tesesat diselokan
ternyata bermilyar teori hanya pengulur waktu saja
sampai dititik batas ketika bagimu aku tak lagi bermakna
menjadi setitik debu di pasir samudera hindia
engkau pergi, selamat jalan
menempuh jalan gilang gemilang – dalam angan angan!
(Aku sendiri dalam keadaan suram. Kebesaran hati yang kubawa waktu bersamamu dulu padam. Aku kembali menjadi manusia lama, murung kehilangan kepercayaan diri – PAT Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2)
Simatupang 17 Agustus 2005.
Daun hatiku menguning
gugur dan rebah ketanah dari pokok pohon jiwamu yang membintang
bersama perih yang menggenang diam telah kukemas kenangan
sebelum pergi menjauh,
sebelum engkau menyempurnakan hampa…
Kau berangkat menghilang, menumpang mimpi yang kau paksakan
(?)
aku turut berbahagia sekarang
sebab akupun tak sanggup memberimu keharusan
bahkan bau jejakmupun hapus oleh rusuh fikiranku
ternyata mudah bagimu menancapkan nisan pengalaman
pada kubur bernama kenangan
memetik buah dari kemeranaan yang kau sembunyikan diam diam
(mungkin sempat aku terbagi secuil kue kemeranaanmu itu)
sekaligus pupus nilai kebajikan yang sama sama kita tanam
lepas sudah ruh dari jalinan jiwa ,
lesap semata rupanya
…aku menjadi anak itik yang tesesat diselokan
ternyata bermilyar teori hanya pengulur waktu saja
sampai dititik batas ketika bagimu aku tak lagi bermakna
menjadi setitik debu di pasir samudera hindia
engkau pergi, selamat jalan
menempuh jalan gilang gemilang – dalam angan angan!
(Aku sendiri dalam keadaan suram. Kebesaran hati yang kubawa waktu bersamamu dulu padam. Aku kembali menjadi manusia lama, murung kehilangan kepercayaan diri – PAT Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2)
Simatupang 17 Agustus 2005.
17 Agustus 2005
berpendar dikepalaku,
jutaan kenangan kelaparan bentuk
aku sendiri dipenjara ruang,
lelah menerobos labirin kekecewaan
kegetiran berat memasung senyuman di bibir
kecuali cemburu yang mengamuk paksa
betapa tidak berartinya jiwa raga…
kau masih sempat tertawa melihatku sekarat dirubung luka,
kau masih sempat bercerita tentang lumuran kemeriahan bernama dusta mimpimu bercumbu dengan kemegahan kekasih hatimu yang bukan aku
nuranimu memang telah lama mati…
hari ini hari bahagiamu,
persiapkan pesta untuk hura hura
menyambut datangnya hari istimewa,
ya aku tahu apa kata hatimu yang tersembunyi itu,
dentam musik,
busuk alcohol
dan birahi yang membuncah
adalah warna yang kau cari, bukan.
Mesum belaka!
Maka persiapkanlah olehmu liang lahat bagi kebahagiaan hidupmu,
sebab aku akan pergi menjauh
dengan segudang lelukaan yang telah terang terang kau hadiahkan untukku.
“jangan lupa pasang kontrasepsi”
pesanku dengan api membakar sekujur ruhku,
dan tawamu mewakili iblis tanpa hati
yang setia menjejah otakku mulai lima bulan lalu….
”kamu lucu” katamu menghinaku!
Simatupang, 17 Agustus 2005
jutaan kenangan kelaparan bentuk
aku sendiri dipenjara ruang,
lelah menerobos labirin kekecewaan
kegetiran berat memasung senyuman di bibir
kecuali cemburu yang mengamuk paksa
betapa tidak berartinya jiwa raga…
kau masih sempat tertawa melihatku sekarat dirubung luka,
kau masih sempat bercerita tentang lumuran kemeriahan bernama dusta mimpimu bercumbu dengan kemegahan kekasih hatimu yang bukan aku
nuranimu memang telah lama mati…
hari ini hari bahagiamu,
persiapkan pesta untuk hura hura
menyambut datangnya hari istimewa,
ya aku tahu apa kata hatimu yang tersembunyi itu,
dentam musik,
busuk alcohol
dan birahi yang membuncah
adalah warna yang kau cari, bukan.
Mesum belaka!
Maka persiapkanlah olehmu liang lahat bagi kebahagiaan hidupmu,
sebab aku akan pergi menjauh
dengan segudang lelukaan yang telah terang terang kau hadiahkan untukku.
“jangan lupa pasang kontrasepsi”
pesanku dengan api membakar sekujur ruhku,
dan tawamu mewakili iblis tanpa hati
yang setia menjejah otakku mulai lima bulan lalu….
”kamu lucu” katamu menghinaku!
Simatupang, 17 Agustus 2005
Maaf
maafkan aku Tuhan,
yang tak sanggup menggubah amarah
menjadi puisi…malam ini
Simatupang, 17 Agustus 2005
yang tak sanggup menggubah amarah
menjadi puisi…malam ini
Simatupang, 17 Agustus 2005
Tuesday, August 16, 2005
Kamu!
Maka semalam tadi kubebaskan iblis dari penjara nurani
lepas membentur bentur kesombongan
Aku lelah menahan murka sendirian
hingga semangatku patah patah
Tak pantas aku menjadi pahlawan atas penghianatanmu
Tawamu menusuk lagi kepalaku,
tawa yang menghamburkan jutaan beling
menelusup kesetiap pori pori kulitku.
Kamu keji sekeji iblis!
Simatupang 16 Agustus 2005
lepas membentur bentur kesombongan
Aku lelah menahan murka sendirian
hingga semangatku patah patah
Tak pantas aku menjadi pahlawan atas penghianatanmu
Tawamu menusuk lagi kepalaku,
tawa yang menghamburkan jutaan beling
menelusup kesetiap pori pori kulitku.
Kamu keji sekeji iblis!
Simatupang 16 Agustus 2005
Aku boleh bercerita tentang amarah yang membuncah?
:FA
Hanya ketika kamu tidur aku akan bercerita,
Bosankah engkau dengan keluhan dan air mataku
Atau hanya kebetulan hatimu lelah oleh beban diri
Ya, hanya itu dan itu saja isi hidupku,
selebihnya adalah gelap tanpa suara
Aku obor yang mati ditikam dahsyat penghianatan
si kalah yang setia mengasihani diri sampai karatan,
padahal sejak purbapun diri sudahlah menjadi pecundangan…
Aku rela jika kau keberatan,
menjadi saksi atas kemelaratan semangat yang menghakimi diri
menyeret nyeret ke ketidak menentuan ini.
Bagiku satu semi satu daun daun kehidapnku telah berguguran
menuggu batang yang hanya sebatang inipun kering lalu rubuh
akarnya menjadi santapan ulat tanah
Dalam ketenggelamanku sempat kusisakan semangat penghiburan diri,
tentang satu tempat dimana tak seorangpun tahu,
tempat baru yang jauh dari mahluk bernama manusia
dan paradaban mesumnya.
Utopiaku tumbuh subur mengingkari getir
setiap detik kenangan yang menyuguhkan beling
ke setiap cc darah yang mengaliri otakku.
Perih tak terkirakan, temanku.
“ lukamu masih lagi basah…” katamu di email,
aku deritakan radang syaraf yang membusukkan nilai hakiki…
utopia hanya khayalan
aku menelan kepedihan didunia yang kupijak.
Amarah adalah sarapan
kesunyian ditimpas kecewa adalah catatan hari hari yang datang bagaikan iblis kiriman Tuhan.
Ah, maafkan aku
yang hanya tinggal punya cerita kesedihan yang membosankan.
Mestinya aku tahu diri,
engkau tak butuhkan cerita kekalahan sebab hanya akan menjengkelkan
Aku lupa, dunia telah kehilangan telinga…buatku.
Jakarta, 16 Agustus 2005
Hanya ketika kamu tidur aku akan bercerita,
Bosankah engkau dengan keluhan dan air mataku
Atau hanya kebetulan hatimu lelah oleh beban diri
Ya, hanya itu dan itu saja isi hidupku,
selebihnya adalah gelap tanpa suara
Aku obor yang mati ditikam dahsyat penghianatan
si kalah yang setia mengasihani diri sampai karatan,
padahal sejak purbapun diri sudahlah menjadi pecundangan…
Aku rela jika kau keberatan,
menjadi saksi atas kemelaratan semangat yang menghakimi diri
menyeret nyeret ke ketidak menentuan ini.
Bagiku satu semi satu daun daun kehidapnku telah berguguran
menuggu batang yang hanya sebatang inipun kering lalu rubuh
akarnya menjadi santapan ulat tanah
Dalam ketenggelamanku sempat kusisakan semangat penghiburan diri,
tentang satu tempat dimana tak seorangpun tahu,
tempat baru yang jauh dari mahluk bernama manusia
dan paradaban mesumnya.
Utopiaku tumbuh subur mengingkari getir
setiap detik kenangan yang menyuguhkan beling
ke setiap cc darah yang mengaliri otakku.
Perih tak terkirakan, temanku.
“ lukamu masih lagi basah…” katamu di email,
aku deritakan radang syaraf yang membusukkan nilai hakiki…
utopia hanya khayalan
aku menelan kepedihan didunia yang kupijak.
Amarah adalah sarapan
kesunyian ditimpas kecewa adalah catatan hari hari yang datang bagaikan iblis kiriman Tuhan.
Ah, maafkan aku
yang hanya tinggal punya cerita kesedihan yang membosankan.
Mestinya aku tahu diri,
engkau tak butuhkan cerita kekalahan sebab hanya akan menjengkelkan
Aku lupa, dunia telah kehilangan telinga…buatku.
Jakarta, 16 Agustus 2005
Tuesday, August 09, 2005
Klabat Selatan #106
(pada sebuah rindang pohon rambutan)
Diteduh yang miskin aku menitip kesabaran
Dan panas mengamuk dijempol kaki terbungkus boot hitam
aku ditengah sabana penantian
akankah hari ini datang hujan?
Klabat – Manado 090805
Diteduh yang miskin aku menitip kesabaran
Dan panas mengamuk dijempol kaki terbungkus boot hitam
aku ditengah sabana penantian
akankah hari ini datang hujan?
Klabat – Manado 090805
Monday, August 08, 2005
Menunggu
setengah mati aku menunggu,
Menerobos sampai lewat titik jemu
Hingga teleponmu lembut merayu;
Kita jangan dulu ketemu…
Singkil – Manado – 8/8/05
Menerobos sampai lewat titik jemu
Hingga teleponmu lembut merayu;
Kita jangan dulu ketemu…
Singkil – Manado – 8/8/05
Kalah
Demikianlah N,
Sesudah habis makian kita muntahkan
sementara amarah masih menjadi raja atas ego
tinggal dendam tak bertuan
aku kalah,
kamu kalah
kita memang kalah
oleh diri kita sendiri
mari,
sembunyi dari hati nurani…
Klabat – Manado – 09/08/05
Sesudah habis makian kita muntahkan
sementara amarah masih menjadi raja atas ego
tinggal dendam tak bertuan
aku kalah,
kamu kalah
kita memang kalah
oleh diri kita sendiri
mari,
sembunyi dari hati nurani…
Klabat – Manado – 09/08/05
Boulevard 090805
anyir laut mengabarkan pengembaraan
lindap ditindas aroma sampah sepanjang ruang
di jalanan musik berdentaman bagai perayaan
atas hari raya kemunafikan
Tuhan membaur dengan debu dan konstruksi bangunan jua
Boulevard malam ini menjadi komik
kehidupan atas peradaban yang makin tua
melintas dalam naungan bulan sabit;
aku kesepian diantara discotana
senyap dalam alamku
tak peduli
berderet melengkapi genit semak dan mesum bebatuan,
kehidupan lain lagi sedang menjombak,
mungkin dengan birahi membuncah dibakar alcohol
dan bangkai botol botol minuman menangisi kemunduran
aku tetap kesepian,
bersenandung sepanjang jalan
berhenti mengasihani diri,
terdampar di kursi plastik warung tenda;
ayam goreng, ampela goreng,
dan syahwat yang mencari cari; menu makan malam
Terimakasih, boulevard atas makan malammu
Tuhan, malam ini juga milikmu…
Boulevard – Manado 080805
lindap ditindas aroma sampah sepanjang ruang
di jalanan musik berdentaman bagai perayaan
atas hari raya kemunafikan
Tuhan membaur dengan debu dan konstruksi bangunan jua
Boulevard malam ini menjadi komik
kehidupan atas peradaban yang makin tua
melintas dalam naungan bulan sabit;
aku kesepian diantara discotana
senyap dalam alamku
tak peduli
berderet melengkapi genit semak dan mesum bebatuan,
kehidupan lain lagi sedang menjombak,
mungkin dengan birahi membuncah dibakar alcohol
dan bangkai botol botol minuman menangisi kemunduran
aku tetap kesepian,
bersenandung sepanjang jalan
berhenti mengasihani diri,
terdampar di kursi plastik warung tenda;
ayam goreng, ampela goreng,
dan syahwat yang mencari cari; menu makan malam
Terimakasih, boulevard atas makan malammu
Tuhan, malam ini juga milikmu…
Boulevard – Manado 080805
Saturday, August 06, 2005
AKU DAN HIDUP
Hidup
waktu membatu
sunyi adalah maharaja
berpermaisuri kesedihan
dalam ruang beku
langit hitam
dinding hitam
lantai hitam
enggan gemuruh adalah bisu
(bukan milikku)
waktu meleleh berat
ditindas iblis bernama kenangan
diatas bumi aku sebatang pohon ara
ditengah sabana muda
tanpa jejak
apalagi gerak
segerombol iblis menyerbu menghisap sisa embun di jiwa gersangku
Enyah kau bajingan bernama sakit hati!
Menjauhlah setan bernama dendam !
dan engkau bangsat kekecewaan; carilah olehmu mangsa baru!
betapa pengecutnya menganiaya yang dikalahkan
Sendirian telah kutelan kalah oleh kuasa kerelaan
dengan tangis telah kukemas puing puing keberadaan
dalam kardus bekas bungkus rokok
perdaban berjalan dan hanya disekelilingku
menghanyut tak tertuang arah tujuan
Tuhan,
Sungguh aku mengharap sebuah damparanMu
maka damparkan aku ya Tuhan
di bumi mu
dimana setiap pagi bisa kutemui sisa embun pemupuk semangat diri…
Manado, 5 Agustus 2005
waktu membatu
sunyi adalah maharaja
berpermaisuri kesedihan
dalam ruang beku
langit hitam
dinding hitam
lantai hitam
enggan gemuruh adalah bisu
(bukan milikku)
waktu meleleh berat
ditindas iblis bernama kenangan
diatas bumi aku sebatang pohon ara
ditengah sabana muda
tanpa jejak
apalagi gerak
segerombol iblis menyerbu menghisap sisa embun di jiwa gersangku
Enyah kau bajingan bernama sakit hati!
Menjauhlah setan bernama dendam !
dan engkau bangsat kekecewaan; carilah olehmu mangsa baru!
betapa pengecutnya menganiaya yang dikalahkan
Sendirian telah kutelan kalah oleh kuasa kerelaan
dengan tangis telah kukemas puing puing keberadaan
dalam kardus bekas bungkus rokok
perdaban berjalan dan hanya disekelilingku
menghanyut tak tertuang arah tujuan
Tuhan,
Sungguh aku mengharap sebuah damparanMu
maka damparkan aku ya Tuhan
di bumi mu
dimana setiap pagi bisa kutemui sisa embun pemupuk semangat diri…
Manado, 5 Agustus 2005
Friday, August 05, 2005
Kalam dari ketinggian
Senja bagai anak panah lepas dari busur, liar.
aku mendaki dalam garuda besi
Berlari kencang,
mendongak sombong lalu terbang membelah awan.
Gelap.
Langit balikpapan bergetar
sekejap lalu dibawah sana ribuan mercuri menyala jadi kunang kunang.
Jalanan penuh semut dengan obor kemerahan.
Setahun lalu aku adalah satu titik semut itu,
yang mengitari jalanan mencari mangsa,
mencari penghidupan dengan kesombongan dan kebesaran
Tuhan hadir dibangku sebelahku,
mengetukku dengankata kata maha bijaknya.
Dari 10000 kaki, dan balikpapan tinggal nampak peta hidup
dan yang bergerak gerak, yang berkelip kelip adlah kehidupan semata.
Tiba tiba hati jadi kecut,
bahwa dari jarak ketinggianpun kehidupan tampak tak berarti,
sekedar angak penghias data statistic.
Garuda besiku menderu parau,
sepotong roti segela air siap menemani sama seprti sore tadi.
Laju laju wahai burung raksasa,
bawa aku lekas berrtemu dengan bumi asing gelap tanpa lampu; tujuanku. Lajulah laju turunkan aku
ditanah baru bersama Tuhan bersemayam dalam sanubariku.
Relakan semua,
relakan apa yang engkau sayangkan,
sebab hidup tak ubahnya kehiduapn kota balikpapan dari jarak 10.000 kaki
Kelap kelip tak berarti, mematahkan kesombongan diri…
demikian kalam tuhan yang hadir disebelahku….
Langit diatas Balikpapan, 4 Agustus 2005
aku mendaki dalam garuda besi
Berlari kencang,
mendongak sombong lalu terbang membelah awan.
Gelap.
Langit balikpapan bergetar
sekejap lalu dibawah sana ribuan mercuri menyala jadi kunang kunang.
Jalanan penuh semut dengan obor kemerahan.
Setahun lalu aku adalah satu titik semut itu,
yang mengitari jalanan mencari mangsa,
mencari penghidupan dengan kesombongan dan kebesaran
Tuhan hadir dibangku sebelahku,
mengetukku dengankata kata maha bijaknya.
Dari 10000 kaki, dan balikpapan tinggal nampak peta hidup
dan yang bergerak gerak, yang berkelip kelip adlah kehidupan semata.
Tiba tiba hati jadi kecut,
bahwa dari jarak ketinggianpun kehidupan tampak tak berarti,
sekedar angak penghias data statistic.
Garuda besiku menderu parau,
sepotong roti segela air siap menemani sama seprti sore tadi.
Laju laju wahai burung raksasa,
bawa aku lekas berrtemu dengan bumi asing gelap tanpa lampu; tujuanku. Lajulah laju turunkan aku
ditanah baru bersama Tuhan bersemayam dalam sanubariku.
Relakan semua,
relakan apa yang engkau sayangkan,
sebab hidup tak ubahnya kehiduapn kota balikpapan dari jarak 10.000 kaki
Kelap kelip tak berarti, mematahkan kesombongan diri…
demikian kalam tuhan yang hadir disebelahku….
Langit diatas Balikpapan, 4 Agustus 2005
Thursday, August 04, 2005
POHON
Pada dua pohon yang kutanam dari persemaian
kubawa dari negeri tak bertuan nun jauh tak terkirakan
Dihalaman rumah kita,
tumbuh bahagia
Pohon kehidupan, aku menamakan
dan bagimu adalah pohon kematian.
Pohon itu tumbuh di hati dan jiwaku dalam pengembaraan,
ingatkah engkau?
Satu pohon luluh lantah oleh bebatuan atas kuasa kehendakmu
dan tak ada sesatupun mengganggu nuranimu.
Bagiku, dia adalah catatan kenanganku sendiri
atas langkah kaki yang tak terukur lagi jaraknya
Maka lihatlah kini…
Pohon kehidupan tumbuh sendirian,
yang satu mati musnah tanpa kesan
Kelak jika ia sanggup
menjulang sendirian ditengah halaman depan rumah
jika rimbunya meneduhkan dan daunya gugur bergantian,
simpanlah satu sebagai catatan;
Bahwa dahulu kala dia bukanlah apa apa,
dan setelah usia lelah ditikam waktu,
dia gugur kembali menjadi bukan apa apa,
rindangnya telah dilupakan orang…
Belajarlah dari ketulusanya,
kerelaanya untuk menjadi martir dan symbol hidup yang pragmatis
Bukankah daunya tetap hijau?
Bukankah dia menjadi hamba bagi kehidupan lain yang tak pernah kau pelajari??
4 Agustus 2005
34.000 kaki datasa laut sulawesi
kubawa dari negeri tak bertuan nun jauh tak terkirakan
Dihalaman rumah kita,
tumbuh bahagia
Pohon kehidupan, aku menamakan
dan bagimu adalah pohon kematian.
Pohon itu tumbuh di hati dan jiwaku dalam pengembaraan,
ingatkah engkau?
Satu pohon luluh lantah oleh bebatuan atas kuasa kehendakmu
dan tak ada sesatupun mengganggu nuranimu.
Bagiku, dia adalah catatan kenanganku sendiri
atas langkah kaki yang tak terukur lagi jaraknya
Maka lihatlah kini…
Pohon kehidupan tumbuh sendirian,
yang satu mati musnah tanpa kesan
Kelak jika ia sanggup
menjulang sendirian ditengah halaman depan rumah
jika rimbunya meneduhkan dan daunya gugur bergantian,
simpanlah satu sebagai catatan;
Bahwa dahulu kala dia bukanlah apa apa,
dan setelah usia lelah ditikam waktu,
dia gugur kembali menjadi bukan apa apa,
rindangnya telah dilupakan orang…
Belajarlah dari ketulusanya,
kerelaanya untuk menjadi martir dan symbol hidup yang pragmatis
Bukankah daunya tetap hijau?
Bukankah dia menjadi hamba bagi kehidupan lain yang tak pernah kau pelajari??
4 Agustus 2005
34.000 kaki datasa laut sulawesi
KUPU KUPU YANG BERSEPATU
: Lalu Kardiman
senja tadi,
entah keberapa juta kali air mata jatuh
luruh dipelataran parkir;
seorang sahabat dalam pelukan, jabat tangan untuk perpisahan
sahabat hati, di bumi yang pernah kusinggahi
dan aku hanyalah kupu kupu yang barsepatu
terbang, hinggap untuk pergi lagi..
dialog kita beku ketika kau lihat sayapku yang compang camping,
dan warna perih menjalari jalinan ruhku
kemana engkau akan pergi? tanyamu haru
jauh saudara hatiku,
ke bumi penuh api yang tak pernah terlintas dalam mimpi,
lalu tunggulah berita tentangku dikoran sore besok hari
tatap matamu adalah ketulusan purba yang pernah menjadi pemanduku dulu, tatap mata yang itu itu juga,
dengan kata kata yang itu itu juga
tetaplah optimis wahai saudaraku , ucapmu sebelum angin membawaku hilang ditelan buram langit Balikpapan.
menuju negeri penuh api, kukempit sisa kenangan yang terburai hancur oleh waktu
lalu kujadikan kenang kenangan;
seorang sahabat hati dalam ingatan…
Langit diatas Balikpapan, Awal Agustus 2005
senja tadi,
entah keberapa juta kali air mata jatuh
luruh dipelataran parkir;
seorang sahabat dalam pelukan, jabat tangan untuk perpisahan
sahabat hati, di bumi yang pernah kusinggahi
dan aku hanyalah kupu kupu yang barsepatu
terbang, hinggap untuk pergi lagi..
dialog kita beku ketika kau lihat sayapku yang compang camping,
dan warna perih menjalari jalinan ruhku
kemana engkau akan pergi? tanyamu haru
jauh saudara hatiku,
ke bumi penuh api yang tak pernah terlintas dalam mimpi,
lalu tunggulah berita tentangku dikoran sore besok hari
tatap matamu adalah ketulusan purba yang pernah menjadi pemanduku dulu, tatap mata yang itu itu juga,
dengan kata kata yang itu itu juga
tetaplah optimis wahai saudaraku , ucapmu sebelum angin membawaku hilang ditelan buram langit Balikpapan.
menuju negeri penuh api, kukempit sisa kenangan yang terburai hancur oleh waktu
lalu kujadikan kenang kenangan;
seorang sahabat hati dalam ingatan…
Langit diatas Balikpapan, Awal Agustus 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)