Mata angin tersesat kehilangan arah
terperosok dilubang abu abu bernama angkasa
selembar bulu elang gugur dari kegagahanya,
mengambang melayang tanpa daya,
berputar dan mengayun dipermainkan ingin
mati suri dalam dekapan beku
kehilangan makna gravitasi yang hakiki
ia melayang tanpa beban
kembali kepada rel bernama kegagalan
membawa hati yang berkeringatan dingin
mencari dasar langit batu pijakan
ribuan tahun dalam penantian
melewati musim demi musim yang melapukkan
selembar bulu elang menembus gelap ketika rintik hujan
tersesat diawang awing tak bertuan
…kelelahan…
Kantor, ketika mendung pekat mengurung Jakarta pada akhir minggu 23 Desember 2005, 1740hrs
puisi adalah anak rohani yang lahir dari kedalaman hati, jujur menterjemahkan makna fikiran
Saturday, December 24, 2005
Thursday, December 15, 2005
Luka
Tuesday, December 13, 2005
Rindu
Aku rindu tangan mungilmu
memunguti serpihan kenangan yang menghancurkanku,
menyusunya menjadi bentuk materi milikku
yang kau paksakan sebagai kebahagiaan
sedang kumaknai menjadi pot pot puzzle yang hilang disana sini.
Aku rindu pada usapanmu dikepala
yang merontokkan koreng diotakku,
mengantarku tidur dalam hangat ketiakmu,
membiarkan aku menjadi bayi raksasa
dalam lelaan kasih sayang yang menjalar dari setiap jari jemarimu.
Aku rindu mulut mungilmu
yang bercerita tentang kegelisahan tidurku yang kau catat dalam buku hatimu,
lalu membacakan kembali kepadaku ketika aku terbangun dalam pelukanmu.
Pada setiap kata kata yang membuatku menjadi ada dan bermakna.
Aku rindu pada senyumanmu
yang melumpuhkan keangkuhanku,
yang mengajarkan kaki melangkah menjejaki jalan jalan terjal tuntutan hati,
menelusuri petualangan berisi keperihan dan keindahan diam diam.
Aku rindu pada tatapanmu
yang menenggelamkanku dikolam kasih sayangmu,
menjadikanku laki laki atas bukan sekedar mimpi siang hari.
Aku rindu pada bau nafasmu
yang meniadakan jarak antara dua hati kita…
Kost Simatupang, 13 Desember 2005
Friday, December 09, 2005
Pagi Stasiun Gambir
Embun terakhir luruh dipelataran parkir
lesap ditelan celah beton stasiun Gambir
Gerbong gerbong mengusung letih dan harapan
berbaur dalam warna subuh yang kumuh
Kereta datang dan pergi
menawarkan keberangkatan dan kedatangan,
pertemuan dan perpisahan,
kegembiraan dan tangis kepedihan;
kontradiksi hidup stasiun kereta sepanjang zaman
Satu ciuman menyambut ketika engkau termangu ragu,
mengeja ajakan hati menyusuri kemauan duniawi.
pagi ini, logika telah mati suri - lagi…
Menyusur Jakarta yang tertidur,
seperti menjelajahi tubuh betara kala yang terlelap inci demi inci.
Didepan tanpa rute,
dan tas punggung kosong oleh beban kenangan.
Secangkir coklat panas dunkin donut,
dan segudang cerita yang menghambur tetap saja meredupkan semua bentuk rencana. Kita akan berjalan,
dititian hati berisi cinta dan kebahagiaan.
Lihatlah kita,
pemudik yang kebingungan mencari kampung halamanya yang tak pernah ada,
dimana kita akan pulang menuju rumah hati hari ini,
bukan membangunnya untuk masa depan.
Kita akan pulang kemanapun hati menggembalakan keinginan
…kerumah hati dimana tak ada dendam dan janji masadepan.
Tetaplah peluk tubuhku dari belakang,
ajari hati melangkah tanpa kecemasan…
Stasiun Gambir 9 Desember 2005
lesap ditelan celah beton stasiun Gambir
Gerbong gerbong mengusung letih dan harapan
berbaur dalam warna subuh yang kumuh
Kereta datang dan pergi
menawarkan keberangkatan dan kedatangan,
pertemuan dan perpisahan,
kegembiraan dan tangis kepedihan;
kontradiksi hidup stasiun kereta sepanjang zaman
Satu ciuman menyambut ketika engkau termangu ragu,
mengeja ajakan hati menyusuri kemauan duniawi.
pagi ini, logika telah mati suri - lagi…
Menyusur Jakarta yang tertidur,
seperti menjelajahi tubuh betara kala yang terlelap inci demi inci.
Didepan tanpa rute,
dan tas punggung kosong oleh beban kenangan.
Secangkir coklat panas dunkin donut,
dan segudang cerita yang menghambur tetap saja meredupkan semua bentuk rencana. Kita akan berjalan,
dititian hati berisi cinta dan kebahagiaan.
Lihatlah kita,
pemudik yang kebingungan mencari kampung halamanya yang tak pernah ada,
dimana kita akan pulang menuju rumah hati hari ini,
bukan membangunnya untuk masa depan.
Kita akan pulang kemanapun hati menggembalakan keinginan
…kerumah hati dimana tak ada dendam dan janji masadepan.
Tetaplah peluk tubuhku dari belakang,
ajari hati melangkah tanpa kecemasan…
Stasiun Gambir 9 Desember 2005
Friday, December 02, 2005
Jalani saja.
Mendung mengurung bumi
Tanah pemakaman menyembunyikan rahasianya yang sempurna,
begitu diam.
Jarak tempuh kedepan hampa tanpa jawaban.
Jalani saja…
jalani saja…
kata sang hati dari kesunyian tanpa kata kata.
Jalani saja,
betapapun logika memperdaya keyakinan diri…
jalani saja,
nikmati romantisme perjalanan dengan hati tercabik oleh perpisahan….
Diatas PJP - Kartasura, 1 Desember 2005
Monday, November 28, 2005
Catatan seorang pejalan
:HF
Kemudian…
hujan jatuh membasuh rumah rumah batu membeku,
Menyembunyikan entah kehangatan
entah kepedihan bagi setiap penghuninya,
Atau barangkali kehancuran belaka isinya.
Pejalan melipat jarak,
dan menit menjadi sampah kenangan selintas.
Pasrah dipermainkan ingin,
ketika aroma nafas dan tubuhmu
menjadi penguasa alam bathin,
menyisakan kegelisahan teramat panjang,
semakin dalam dan sendirian
…diam diam…
Merak – Jakarta, tengah malam 28 November 2005
Kemudian…
hujan jatuh membasuh rumah rumah batu membeku,
Menyembunyikan entah kehangatan
entah kepedihan bagi setiap penghuninya,
Atau barangkali kehancuran belaka isinya.
Pejalan melipat jarak,
dan menit menjadi sampah kenangan selintas.
Pasrah dipermainkan ingin,
ketika aroma nafas dan tubuhmu
menjadi penguasa alam bathin,
menyisakan kegelisahan teramat panjang,
semakin dalam dan sendirian
…diam diam…
Merak – Jakarta, tengah malam 28 November 2005
Perpisahan
Sunday, November 27, 2005
Pulau Kecil
Pulau kecil
yang terapung sendirian,
Menjadi pembatas antara langit dan bayanganya
Dipisah garis sejajar rata
Diam menjadi saksi milyaran perjalanan;
juga musim yang bergantian.
Siapa yang mendiami?
Bolehkan kami tinggal berdua disana,
menjadi penghuni satu satunya,
menghabiskan usia yang merambat menjadi tua.
Pulau kecil,
Adakah kau simpan keceriaan masa depan didalamnya??
Selat sunda, 26 November 2005
Bagai Sang Musa
bagaikan sang Musa,
membelah lautan jadi jalanan.
Terapung melaju dikepungan air dan kedalaman laut.
Angin meraba wajah,
mengabarkan tanah tujuan tak kasat mata.
Sama rahasianya dengan kematian seekor ikan
yang hanyut entah sampai dimana.
Telah kulalui , hujan sepanjang jalan,
melewati muka muka murung tersaput mendung.
Matahari sudah datang, kepagian.
Kuikuti laju hati ketempat rindu bermuara.
pada udara tak berwarna.
Kota kota mati ditikam sunyi sepanjang pagi.
Dan hati berisi angkasa
kubawa bunga yang bermekaran semalam
untuk kupersembahkan kepada sang putri phoenix diseberang
serta lupakan koreng dibetis kanan…
diatas KM kambuna I, diperairan selat sunda 26 November 2005
Saturday, November 26, 2005
Perahu Nelayan
Perahu nelayan apa yang kau bawa
selain kemiskinan dan cerita diam.
terapung ragu dihamparan samudera,
menunggu langit datangkan tetabuhan
yang akan mengayunkanmu
dalam irama angin; penuh kelukaan.
perahu nelayan,
Gerakmu lemah,
menyerah dihamparan misteri selat sunda.
Hanya air dan kehidupan penuh rahasia,
tersembunyi dengan sempuna…
Selat Sunda 26 November 2005
Wednesday, November 23, 2005
Kesepian dan Hujan
Tentang kesepian dan hujan.
Dikepala, sebuah teater tanpa kata kata sama sekali.
Diluar hujan deras dan didalam ruangan hasrat melonjak,
tapi hambar penuh luka,
penuh keterasingan.
Kekacauan tubuh dari kehampaan rumah tangga.
Mata menatap dinding kaca.
Dingin.
Tenggelam pada jutaan kenangan yang menggenang.
Sepi.
Diluar hujan deras
didalam kamar kehampaan merongrong tubuh.
Mematikan percintaan.
Goodway #2163 – Batam 22 Nov 2005
Sunday, November 20, 2005
Bollywood syndrome
:Huang Fei
kepada semesta, rindu yang nyeri kita alamatkan
ketika udara menggenang diam
menampung bayang manismu yang mengepung
menempel disetiap sisi dinding langit
menghambur bersama matahari dan mengayun dipucatnya bulan
diujung mendung kita berpelukan saling merasakan
berciuman ketika langit berwarna jingga, biru dan abu abu bahkan hitam
lalu hujan membawa sensasi tanpa ukuran
romantisme hati paling hakiki
meninabobokan logika diri.
kata kata membatu kehilangan makna;
Psikotis akut!
Indihe sekali!
Amazing!
Miracle is happening!
And yet…we are perfect!
samar batas maya dan nyata
didunia tak bertuan punya kita
…entahlah…
barangkali kita jatuh cinta…
Simatupang, 19 November 2005 – 0309hrs
kepada semesta, rindu yang nyeri kita alamatkan
ketika udara menggenang diam
menampung bayang manismu yang mengepung
menempel disetiap sisi dinding langit
menghambur bersama matahari dan mengayun dipucatnya bulan
diujung mendung kita berpelukan saling merasakan
berciuman ketika langit berwarna jingga, biru dan abu abu bahkan hitam
lalu hujan membawa sensasi tanpa ukuran
romantisme hati paling hakiki
meninabobokan logika diri.
kata kata membatu kehilangan makna;
Psikotis akut!
Indihe sekali!
Amazing!
Miracle is happening!
And yet…we are perfect!
samar batas maya dan nyata
didunia tak bertuan punya kita
…entahlah…
barangkali kita jatuh cinta…
Simatupang, 19 November 2005 – 0309hrs
Saturday, November 19, 2005
Penitipan Hati Semu
: HF
Kutitipkan hatiku,
Catatan panjang setebal penyesalan atas peristiwa peristiwa
ribuan tahun pengembaraan yang tumpah dilaut kesia siaan;
hanya ego yang menuntut kemanjaan,
kemewahan mandul kuemban menjadi kenangan.
Bukan penantian,
apalagi pencarian
sebab aku hanya pejalan yang menyusuri kegelapan demi kegelapan
dengan pedang logika terhunus tajam ditangan kiri
dengan kekang hati tergenggam ditangan kanan
aku hanya pejalan sepanjang jalan
mengharap bertemu matahari yang sebutir keyakinan
badai dan puting beliung mengamuk sapanjang zaman
telah kubunuh jejak pada puing puing kastel pasir hitam dipantai kehidupan,
dimana kesombongan diri terdampar merana
kupeluk angkasa ketika kabut kebimbangan menjamah hati
mengacaukan perenunganku atas rencanaNya yang kupertanyakan diam diam…
Kutitipkan hatiku,
prasasti atas ketidak berartian ke ketidak berartian sepanjang jalan.
Engkau tahu,
aku letih menjadi debu dengan belati masalalu menancap berkarat dipunggung.
Aku hanya ingin telanjang tanpa kecemasan
Diteduh penitipan hatimu
Meskipun semu…
Simatupang, 19 November 2005, 0206
Kutitipkan hatiku,
Catatan panjang setebal penyesalan atas peristiwa peristiwa
ribuan tahun pengembaraan yang tumpah dilaut kesia siaan;
hanya ego yang menuntut kemanjaan,
kemewahan mandul kuemban menjadi kenangan.
Bukan penantian,
apalagi pencarian
sebab aku hanya pejalan yang menyusuri kegelapan demi kegelapan
dengan pedang logika terhunus tajam ditangan kiri
dengan kekang hati tergenggam ditangan kanan
aku hanya pejalan sepanjang jalan
mengharap bertemu matahari yang sebutir keyakinan
badai dan puting beliung mengamuk sapanjang zaman
telah kubunuh jejak pada puing puing kastel pasir hitam dipantai kehidupan,
dimana kesombongan diri terdampar merana
kupeluk angkasa ketika kabut kebimbangan menjamah hati
mengacaukan perenunganku atas rencanaNya yang kupertanyakan diam diam…
Kutitipkan hatiku,
prasasti atas ketidak berartian ke ketidak berartian sepanjang jalan.
Engkau tahu,
aku letih menjadi debu dengan belati masalalu menancap berkarat dipunggung.
Aku hanya ingin telanjang tanpa kecemasan
Diteduh penitipan hatimu
Meskipun semu…
Simatupang, 19 November 2005, 0206
Thursday, October 27, 2005
kekuatan laki laki
:N
Aku bisa saja mendamparkanmu
lalu hinggap di gelembung kehidupan lainya yang cerah menjanjikan.
Tapi aku memilih tenggelam di kubangan air mataku
sendiri mengharap belas kasihmu
luruh melumuri luka luka membusuk buah tanganmu.
Aku tak merasakan sakit
sebab telah berabad abad jiwaku kau buat sakit.
Aku kebal akan rasa sakit itu,
sebab aku hanya seorang manusia kebingungan, murka dan tak berguna.
Aku sudah lelah mengasihani diri,
berharap merasakan sesuatu menjadi hakku.
Maafkan aku pengalaman,
yang telah menganggap diri adalah sesuatu,
setidaknya aku berfikir aku adalah sesuatu,
ternyata kekecewaanlah harga yang pantas kutebus
Waktu aku tengok kekedalaman hatiku yang rapuh,
aku sadari aku bukan apa apa,
bukan siapa siapa buatmu,
.....dan itu membuatku bahagia!
Kost simatupang, 27 Okt 2005 0007hrs
Aku bisa saja mendamparkanmu
lalu hinggap di gelembung kehidupan lainya yang cerah menjanjikan.
Tapi aku memilih tenggelam di kubangan air mataku
sendiri mengharap belas kasihmu
luruh melumuri luka luka membusuk buah tanganmu.
Aku tak merasakan sakit
sebab telah berabad abad jiwaku kau buat sakit.
Aku kebal akan rasa sakit itu,
sebab aku hanya seorang manusia kebingungan, murka dan tak berguna.
Aku sudah lelah mengasihani diri,
berharap merasakan sesuatu menjadi hakku.
Maafkan aku pengalaman,
yang telah menganggap diri adalah sesuatu,
setidaknya aku berfikir aku adalah sesuatu,
ternyata kekecewaanlah harga yang pantas kutebus
Waktu aku tengok kekedalaman hatiku yang rapuh,
aku sadari aku bukan apa apa,
bukan siapa siapa buatmu,
.....dan itu membuatku bahagia!
Kost simatupang, 27 Okt 2005 0007hrs
Aku dan angkasa
:huangfei
Pagi ini hati bagai angkasa
Berisikan udara dan angin pemberi kehidupan
Dihias sejuta warna dari sekian banyak imajinasi dan khayalku
Dan aku bebas meneriakkan bahagiaku
Karena sempat miliki angkasa pribadi
Tak terusik tangan yang lain
Hanya aku dan angkasaku
Langit adalah harapku
Dan do’a jadi udara yang mengambang dan mengisi angkasa
Aku hanya sendiri menatap dan menikmati
Saat itu masih pagi
Dan kala malam menjelang di angkasaku
Tidak akan ada malam yang kelam
Hanya ada malam dengan sejuta bintang
Dan sesosok bulan yang bundar sempurna
Penuh cahaya dari gedung cita-citaku akan esok
Udara sarat do’a tetap mengambang
Dan warna dari sejuta khayalku masih kuat tampak
Dan akan kutunjuk satu bintang yang miliki kilau mengalir pelan pun memancar kuat
Untuk menggambar angkasa ku dengan sinarnya
Menggambar dengan suka citanya
Tentang ceritaku di malam itu
Melukis dengan cahayanya berjuta fantasi
Yang selama ini tersimpan dalam ruang benak
Merangkai kata-kata dengan lima jemari indahnya
Menjadi sebuah puisi yang tak lekang oleh masa
Hanya ada aku, angkasa dan seisinya
Indah sungguh kala ini…dan satu ingin untuk membaginya denganmu saat ini
Entah bagaimana…andai kau mengerti
Mengerti tanpa perlu kata dan suara
Mengerti hanya dengan kedewasaan jiwa
Dan keindahan khayal yang bersama kita coba leburkan dalam nyata
Entah bagaimana….
Graha Simatupang, 26 Okt 05
Pagi ini hati bagai angkasa
Berisikan udara dan angin pemberi kehidupan
Dihias sejuta warna dari sekian banyak imajinasi dan khayalku
Dan aku bebas meneriakkan bahagiaku
Karena sempat miliki angkasa pribadi
Tak terusik tangan yang lain
Hanya aku dan angkasaku
Langit adalah harapku
Dan do’a jadi udara yang mengambang dan mengisi angkasa
Aku hanya sendiri menatap dan menikmati
Saat itu masih pagi
Dan kala malam menjelang di angkasaku
Tidak akan ada malam yang kelam
Hanya ada malam dengan sejuta bintang
Dan sesosok bulan yang bundar sempurna
Penuh cahaya dari gedung cita-citaku akan esok
Udara sarat do’a tetap mengambang
Dan warna dari sejuta khayalku masih kuat tampak
Dan akan kutunjuk satu bintang yang miliki kilau mengalir pelan pun memancar kuat
Untuk menggambar angkasa ku dengan sinarnya
Menggambar dengan suka citanya
Tentang ceritaku di malam itu
Melukis dengan cahayanya berjuta fantasi
Yang selama ini tersimpan dalam ruang benak
Merangkai kata-kata dengan lima jemari indahnya
Menjadi sebuah puisi yang tak lekang oleh masa
Hanya ada aku, angkasa dan seisinya
Indah sungguh kala ini…dan satu ingin untuk membaginya denganmu saat ini
Entah bagaimana…andai kau mengerti
Mengerti tanpa perlu kata dan suara
Mengerti hanya dengan kedewasaan jiwa
Dan keindahan khayal yang bersama kita coba leburkan dalam nyata
Entah bagaimana….
Graha Simatupang, 26 Okt 05
It is a need to feel something…
It is a need to feel something…
Mengambang bagai awan,
Mengapung bagaikan riak samudera
Gelap
Sepi
Perih
Melelahkan
Aku lelah bertahan pada kebanggaan yang tersisa
Maka kubiarkan diri tengglam penuh kemenangan
di danau embun pagi bernama harapan,
segalanya baru,
seperti selembar kertas buku halaman baru
asing
sesungguhnya aku tak butuh masalalau,
seperti aku tak peduli masa depan..
Kantor pada sore 26 Okt 2005
Mengambang bagai awan,
Mengapung bagaikan riak samudera
Gelap
Sepi
Perih
Melelahkan
Aku lelah bertahan pada kebanggaan yang tersisa
Maka kubiarkan diri tengglam penuh kemenangan
di danau embun pagi bernama harapan,
segalanya baru,
seperti selembar kertas buku halaman baru
asing
sesungguhnya aku tak butuh masalalau,
seperti aku tak peduli masa depan..
Kantor pada sore 26 Okt 2005
Saturday, October 15, 2005
Tamasya negeri api
Menghela ragu merayapi celah celah tanah hitam terpanggang kemarau
Ketika api masalalu masih berkobar menyala didinding langit
Selebihnya iblis berpesta dirongga dada
Dengan sesak hati kupunguti ranting kenangan dari pohon cita cita yang tumbang
dimana semestinya sebentar lagi berbuah
bangkai harapan menghampar tanpa nisan,
mati ditikam penghianatan
Hanya perih menyanyikan lagu duka diam diam
Tujuh musim telah mandul sia sia
tanpa semaian bibit pohon kehidupan;
tinggal merana terombang ambing matahari yang murka
Mencoba mengenali lagi bahasa angin
pucuk pucuk gunung yang mengurung;
fikiran tersesat pada labirin ego semata,
tak maju tak juga mundur,
bahkan membatu penuh ragu
ataukah aku yang menjelma menjadi mahluk asing dibumiku sendiri?
Masa depan tak pernah ada,
hangus oleh bencana masa silam yang sempurna
Pada selembar daun hayal yang tersisa, jiwaku menitip mimpi…
Maafkanlah hati, wahai pengalaman…
Baturetno 14 Okt 2005
Ketika api masalalu masih berkobar menyala didinding langit
Selebihnya iblis berpesta dirongga dada
Dengan sesak hati kupunguti ranting kenangan dari pohon cita cita yang tumbang
dimana semestinya sebentar lagi berbuah
bangkai harapan menghampar tanpa nisan,
mati ditikam penghianatan
Hanya perih menyanyikan lagu duka diam diam
Tujuh musim telah mandul sia sia
tanpa semaian bibit pohon kehidupan;
tinggal merana terombang ambing matahari yang murka
Mencoba mengenali lagi bahasa angin
pucuk pucuk gunung yang mengurung;
fikiran tersesat pada labirin ego semata,
tak maju tak juga mundur,
bahkan membatu penuh ragu
ataukah aku yang menjelma menjadi mahluk asing dibumiku sendiri?
Masa depan tak pernah ada,
hangus oleh bencana masa silam yang sempurna
Pada selembar daun hayal yang tersisa, jiwaku menitip mimpi…
Maafkanlah hati, wahai pengalaman…
Baturetno 14 Okt 2005
Saturday, September 03, 2005
TIDUR
Puisi ini, anak rohani sang malam
Terlahir pada selembar luka bertinta darah
Ketika iblis menjajah mengumbar kenangan
Sedang hati lelah menunggu kematian datang;
Sebagai kesepakatan ketika kita dilahirkan bunda
Pejamkan mata, dan setan berpesta di kepala
Tak terbilang jumlahnya
Tak terkira tingkahnya
Buka mata, dan api dendam menghanguskan dada
Tak terperi panasnya
Tak terkatakan perihnya
Maka kubiarkan ribuan malam lewat tanpa malaikat
Lewati tidur jadi bayi dalam buaian mimpi;
hanya kemewahan penipu diri
Rumah hampa, 2 September 2005
Terlahir pada selembar luka bertinta darah
Ketika iblis menjajah mengumbar kenangan
Sedang hati lelah menunggu kematian datang;
Sebagai kesepakatan ketika kita dilahirkan bunda
Pejamkan mata, dan setan berpesta di kepala
Tak terbilang jumlahnya
Tak terkira tingkahnya
Buka mata, dan api dendam menghanguskan dada
Tak terperi panasnya
Tak terkatakan perihnya
Maka kubiarkan ribuan malam lewat tanpa malaikat
Lewati tidur jadi bayi dalam buaian mimpi;
hanya kemewahan penipu diri
Rumah hampa, 2 September 2005
Kita dan Harapan
:N
Sempat kutanya pada hatimu
Tentang makna keterpurukan ini
“ Tak tahu” jawabmu selalu
Setelah ribuan kata hati kususun jadi filsafat
Menghambur bagai kentut ditelingamu
Aku melihat tangismu
Tangis yang itu itu juga; palsu
Aku mendengar suaramu,
Suara yang itu itu juga; dusta
Aku mendengar tawamu;
Kegirangan atas kehancuranku yang kau sengaja!
Tinggal aku melata tanpa suara
Mengharap duli tuanku bermurah hati
Memberi sedikit pernawar pedih jiwa penduka
Atas luka yang berabad tinggal didalam dada
Aduh tuhan,
Kenapa kesombongan tinggi menjulang
Memandangku hanya si pincang yang pura pura
Membiarkan aku tetap melata menahan perih hati
Sampai mati
Mengharap engkau bermurah hati, sedikit saja membuka mata
Rumah hampa 2 September 2005
Sempat kutanya pada hatimu
Tentang makna keterpurukan ini
“ Tak tahu” jawabmu selalu
Setelah ribuan kata hati kususun jadi filsafat
Menghambur bagai kentut ditelingamu
Aku melihat tangismu
Tangis yang itu itu juga; palsu
Aku mendengar suaramu,
Suara yang itu itu juga; dusta
Aku mendengar tawamu;
Kegirangan atas kehancuranku yang kau sengaja!
Tinggal aku melata tanpa suara
Mengharap duli tuanku bermurah hati
Memberi sedikit pernawar pedih jiwa penduka
Atas luka yang berabad tinggal didalam dada
Aduh tuhan,
Kenapa kesombongan tinggi menjulang
Memandangku hanya si pincang yang pura pura
Membiarkan aku tetap melata menahan perih hati
Sampai mati
Mengharap engkau bermurah hati, sedikit saja membuka mata
Rumah hampa 2 September 2005
Enam Bulan
Dialog menjadi begitu usang
Sedang luka menghitam meneteskan darah
Hati gemetaran berdiri dipersimpangan bimbang
Terjajah oleh waktu yang berlarian meninggalkan
Enam bulan sudah hati gelisah parau berseru
“aku harus melangkah”
Dan kaki nurani tertanam pada batu fikiran
Wahai murka,
Jadilah engaku pertapa atas diri
Gurui aku melihat apa yang tak terlihat
Menjadi tidak munafik atas kebenaran hakiki
Menjadi pintar mengolok kemustahilan demi kemustahilan
Ketika tak ketemukan lagi bulan apalagi matahari
Pada malam malam sepanjang enam bulan belakangan
Adakah aku berdiri dipersimpangan?
Atau hanya hati yang membeku kedinginan?
Rumah Hampa 2 September 2005
Sedang luka menghitam meneteskan darah
Hati gemetaran berdiri dipersimpangan bimbang
Terjajah oleh waktu yang berlarian meninggalkan
Enam bulan sudah hati gelisah parau berseru
“aku harus melangkah”
Dan kaki nurani tertanam pada batu fikiran
Wahai murka,
Jadilah engaku pertapa atas diri
Gurui aku melihat apa yang tak terlihat
Menjadi tidak munafik atas kebenaran hakiki
Menjadi pintar mengolok kemustahilan demi kemustahilan
Ketika tak ketemukan lagi bulan apalagi matahari
Pada malam malam sepanjang enam bulan belakangan
Adakah aku berdiri dipersimpangan?
Atau hanya hati yang membeku kedinginan?
Rumah Hampa 2 September 2005
Friday, September 02, 2005
Surat Dari Dik Tika
Anak,
Suratmu kubaca; penuh cinta
Tanpa rayu apalagi dusta
Kujawab dengan air mata
Kata rindu jadi beribu ribu
Sebab hanya itu yang engkau tahu
Meluncur dari hatimu yang jujur
Tiga lembar engkau tulis
Tanpa satu jua terkirimkan
“tak tahu dimana bapak berada”
Katamu lugu…
Rumah Hampa, 2 September 2005
Suratmu kubaca; penuh cinta
Tanpa rayu apalagi dusta
Kujawab dengan air mata
Kata rindu jadi beribu ribu
Sebab hanya itu yang engkau tahu
Meluncur dari hatimu yang jujur
Tiga lembar engkau tulis
Tanpa satu jua terkirimkan
“tak tahu dimana bapak berada”
Katamu lugu…
Rumah Hampa, 2 September 2005
Malam
Kucumbu angin yang datang bersama gelap
Telah berabad abad malam mengubur jiwa
Aku menunggu, sesuatu jatuh dari langit kegelapan
Dan usia telah mengapurkan tulang belulang
Tak jua kujumpa pagi bernama pengharapan
Aku lelah
Ijinkan aku tidur ya tuhan…
Dalam satu malam setelah berabad abad dalam gelap…
Rumah hampa 2 September 2005
Telah berabad abad malam mengubur jiwa
Aku menunggu, sesuatu jatuh dari langit kegelapan
Dan usia telah mengapurkan tulang belulang
Tak jua kujumpa pagi bernama pengharapan
Aku lelah
Ijinkan aku tidur ya tuhan…
Dalam satu malam setelah berabad abad dalam gelap…
Rumah hampa 2 September 2005
Hikayat Pendusta
Entah cerita berapa kau suguhkan
Nuranimu diam kutatapi saja
Sedang kebohongan menjadi matrix mengagumkan
Tercatat dalam setiap renungan
Bahkan gerak hanyalah tipuan
; kau yang tertipu!
Ketika tiba saatnya lelah
Menahan laju waktu yang rajin membabati usia
Maka pasrah pada kehendakmu yang pongah menilai
Aku mengalah
Beranjak pergi membawa benih luka yang kau semaikan
Akan kucari langit, mengikuti jejak matahari
Angin telah merindukanku begitu lama
Sedangkan diri tak henti menhiba padamu
hingga tiba saatnya kini
Engkau tersedan meratapi kuburan cinta kita
Dan aku entah berada di angkasa mana
Rumah hampa, 2 September 2005
Nuranimu diam kutatapi saja
Sedang kebohongan menjadi matrix mengagumkan
Tercatat dalam setiap renungan
Bahkan gerak hanyalah tipuan
; kau yang tertipu!
Ketika tiba saatnya lelah
Menahan laju waktu yang rajin membabati usia
Maka pasrah pada kehendakmu yang pongah menilai
Aku mengalah
Beranjak pergi membawa benih luka yang kau semaikan
Akan kucari langit, mengikuti jejak matahari
Angin telah merindukanku begitu lama
Sedangkan diri tak henti menhiba padamu
hingga tiba saatnya kini
Engkau tersedan meratapi kuburan cinta kita
Dan aku entah berada di angkasa mana
Rumah hampa, 2 September 2005
PULANG
Melata di jalanan, dua abad terlewatkan
dengan dada menetes darah kenangan
pedih sebagai warna ujung belati,
melewati kota kota melulu berisi setan
sawah sawah gersang bercerita tentang roda zaman yang berhenti
; menjadi batu diam
pulang…
Ketempat yang dulu adalah rumah
Ke hati yang dulu adalah teman hidup
Membawa letih perkelahian panjang; hanya gila yang tersisa
Rumah ini tak lagi bernyawa; mati bagaikan angkasa
rindu merana kehilangan warna
Dan hampa hati bukanlah pilihan
sedangkan sederet dusta masih masih engkau jejalkan
Oh rumah,
Maafkan jika tak kutemukan lagi ruang dimana dulu segalanya berpulang
Maafkan jika sekarang tinggal puing kenangan yang meremukkan kehidupan…
Rumah hampa, 1 September 2005
dengan dada menetes darah kenangan
pedih sebagai warna ujung belati,
melewati kota kota melulu berisi setan
sawah sawah gersang bercerita tentang roda zaman yang berhenti
; menjadi batu diam
pulang…
Ketempat yang dulu adalah rumah
Ke hati yang dulu adalah teman hidup
Membawa letih perkelahian panjang; hanya gila yang tersisa
Rumah ini tak lagi bernyawa; mati bagaikan angkasa
rindu merana kehilangan warna
Dan hampa hati bukanlah pilihan
sedangkan sederet dusta masih masih engkau jejalkan
Oh rumah,
Maafkan jika tak kutemukan lagi ruang dimana dulu segalanya berpulang
Maafkan jika sekarang tinggal puing kenangan yang meremukkan kehidupan…
Rumah hampa, 1 September 2005
Monday, August 29, 2005
Mimpi Buruk
Ayolah hati…
bedakan mimpi dan kehidupan meski sama sama buruk memperlakukan.
Mimpi hanya buah fikiran, tak terjangkau oleh simpati.
Dan kehidupan hanyalah konskwensi fikiran; tak tersentuh mimpi
Jangan ajari aku mengingkari kepedihan yang datang
ketika tidur maupun terjaga; itu itu saja warnanya.
Tapi ajarkan aku memahami hidup yang harus kuhabiskan.
pengingkaran hanya siksaan, terima dan telan semua adalah pilihan.
Tak ada ruang untuk sembunyi,
sebab mimpi buruk adalah kenyataan itu sendiri…
Jakarta, 28 Agustus 2005
bedakan mimpi dan kehidupan meski sama sama buruk memperlakukan.
Mimpi hanya buah fikiran, tak terjangkau oleh simpati.
Dan kehidupan hanyalah konskwensi fikiran; tak tersentuh mimpi
Jangan ajari aku mengingkari kepedihan yang datang
ketika tidur maupun terjaga; itu itu saja warnanya.
Tapi ajarkan aku memahami hidup yang harus kuhabiskan.
pengingkaran hanya siksaan, terima dan telan semua adalah pilihan.
Tak ada ruang untuk sembunyi,
sebab mimpi buruk adalah kenyataan itu sendiri…
Jakarta, 28 Agustus 2005
Menyerah
Akhirnya aku menyerah pada jiwamu yang pongah.
Pada keangkuhan kehendakmu yang menjulang.
Aku menyerah membiarkan diri terjajah oleh muslihatmu.
Letih hati mencari kompromi atas kedangkalan dan penalaran impulisifmu.
Ternyata sia sia mengingkari kebanggaanku yang ambruk menghujam kaki.
Tak ada satupun kalori tersis pada darahku,
Maka aku pasrah menjadi tawanan atas ahlakmu
dipenjara pengab berdinding dendam dan berlantai kekecewaan.
Aku menyerah ketika tak ada satu katapun bermakna sebagai kalimat,
hanya kentut ketika engkau bangun dari tidur dipagi hari belaka.
Aku menyerah ketika tak ada lagi asa menetes dalam otakku
Pada bathin yang bangkrut oleh peperangan panjang diam diam…
Jakarta, 28 August 2005
Pada keangkuhan kehendakmu yang menjulang.
Aku menyerah membiarkan diri terjajah oleh muslihatmu.
Letih hati mencari kompromi atas kedangkalan dan penalaran impulisifmu.
Ternyata sia sia mengingkari kebanggaanku yang ambruk menghujam kaki.
Tak ada satupun kalori tersis pada darahku,
Maka aku pasrah menjadi tawanan atas ahlakmu
dipenjara pengab berdinding dendam dan berlantai kekecewaan.
Aku menyerah ketika tak ada satu katapun bermakna sebagai kalimat,
hanya kentut ketika engkau bangun dari tidur dipagi hari belaka.
Aku menyerah ketika tak ada lagi asa menetes dalam otakku
Pada bathin yang bangkrut oleh peperangan panjang diam diam…
Jakarta, 28 August 2005
Aku masih hidup
Padamu tengah kubangunkan satu gunung kebanggaan,
berkerangka mimpi dan jutaan harapan
sebagai investasi sosial yang membanggakan.
Peluh belum lagi kering,
penat belum lagi pergi,
Engkau melilitkan dinamit disetiap lerengnya
Justru ketika aku gigih membangunya inci demi inci untuk kita.
Penghianatanmu meledakkan gunung kebanggaanku,
Hancur menimbun jalinan ruhku
ketika aku baru saja hendak tetirah dari waktu yang tak henti memburu
yang kau rontokkan hanya dengan sekali picu.
dihimpit jutaan ton amarah dan cadas tajam pengalaman.
aku masih hidup!
Dan engkau,
diluar sana entah menari,
entah menyanyi,
berpesta birahi diatas puing puingnya,
diatas darah dan dagingku yang tertanam diam.
Aku masih hidup terkubur kesedihan.
menikmati nyanyi dan tawamu ditimpahi suara laki laki; kekasih hatimu
Engkaupun tahu, aku megap megap hampir sekarat
Teruskan berpesta,
Tuntaskan tawamu,
biar kutunggu
seratus tahun sampai angin mengikis bebanku,
atau ribuan musim mengangkutinya pergi,
hingga aku mampu bangkit dan berdiri lagi,
membangun gunung kebanggaan lain lagi,
entah untuk siapa…
Sebab aku masih hidup, meski tanpa jiwa!
Jakarta, August 28, 2005
berkerangka mimpi dan jutaan harapan
sebagai investasi sosial yang membanggakan.
Peluh belum lagi kering,
penat belum lagi pergi,
Engkau melilitkan dinamit disetiap lerengnya
Justru ketika aku gigih membangunya inci demi inci untuk kita.
Penghianatanmu meledakkan gunung kebanggaanku,
Hancur menimbun jalinan ruhku
ketika aku baru saja hendak tetirah dari waktu yang tak henti memburu
yang kau rontokkan hanya dengan sekali picu.
dihimpit jutaan ton amarah dan cadas tajam pengalaman.
aku masih hidup!
Dan engkau,
diluar sana entah menari,
entah menyanyi,
berpesta birahi diatas puing puingnya,
diatas darah dan dagingku yang tertanam diam.
Aku masih hidup terkubur kesedihan.
menikmati nyanyi dan tawamu ditimpahi suara laki laki; kekasih hatimu
Engkaupun tahu, aku megap megap hampir sekarat
Teruskan berpesta,
Tuntaskan tawamu,
biar kutunggu
seratus tahun sampai angin mengikis bebanku,
atau ribuan musim mengangkutinya pergi,
hingga aku mampu bangkit dan berdiri lagi,
membangun gunung kebanggaan lain lagi,
entah untuk siapa…
Sebab aku masih hidup, meski tanpa jiwa!
Jakarta, August 28, 2005
Sunday, August 28, 2005
Pengembaraan Maya
Di sabana kosmos maya aku mengembara
membawa luka pada pintu pintu yang terbuka.
Melagukan keluhan pada jendela jendela
Mata mata mengintip diam diam.
semoga tak ada kepalsuan,
yang rajin kutemui dalam bungkus kemuliaan.
Kubawa kejujuran sebagai hukum materi
dan pedang rasionalitas tajam terhunus ditangan.
Rumah rumah jiwa berderetan,
gelap seperti tak bertuan.
Inikah dunia pengingkaran yang rajin dibanggakan?
dimana panca indera tak dibutuhkan.
jiwa jiwa yang menjadi hantu bagi kehidupan nyata,
berkeliaran mengingkari bentuk.
Dengan emoticon lambang kepura puraan sebagai symbol simpati
Pada pintu pintu yang terbuka kutawarkan
Ternyata hanya langit yang menganga
Tak kutemukan rumah jiwa beratap kepribadian
Kecuali rintihan samar samar
entah nyata entah bohong
Jakarta 28 Agustus 2005
membawa luka pada pintu pintu yang terbuka.
Melagukan keluhan pada jendela jendela
Mata mata mengintip diam diam.
semoga tak ada kepalsuan,
yang rajin kutemui dalam bungkus kemuliaan.
Kubawa kejujuran sebagai hukum materi
dan pedang rasionalitas tajam terhunus ditangan.
Rumah rumah jiwa berderetan,
gelap seperti tak bertuan.
Inikah dunia pengingkaran yang rajin dibanggakan?
dimana panca indera tak dibutuhkan.
jiwa jiwa yang menjadi hantu bagi kehidupan nyata,
berkeliaran mengingkari bentuk.
Dengan emoticon lambang kepura puraan sebagai symbol simpati
Pada pintu pintu yang terbuka kutawarkan
Ternyata hanya langit yang menganga
Tak kutemukan rumah jiwa beratap kepribadian
Kecuali rintihan samar samar
entah nyata entah bohong
Jakarta 28 Agustus 2005
Definisi cinta
apa definisi cinta setelah usia merampas setiap tunas kesempatan?
Tatapan mata yang teduh merayu?
atau
Perhatian yang membanjir membutakan logika?
atau
Kata kata yang melentingkan khayalan?
atau
Pertemuan pertemuan yang menyenangkan?
atau
Kesepakatan kesepakatan yang dirahasiakan?
atau
Kehidupan yang bagaikan cerita cerita telenovela?
atau
Gelegak birahi hati yang terpuaskan?
atau
Sekedar petualangan dari hati ke hati?
atau
Manivestasi air mata?
atau
Penobatan diri sebagai pahlawan?
atau
Karya seni atas kuasa bohong?
atau
Pengakuan untuk nilai diri?
atau
Kejujuran yang menaklukkan?
Bagiku,
Cinta adalah madu beracun bagi kehidupan…
Dia manis dan mematikan!
Jakarta, 28 Agustus 2005
Tatapan mata yang teduh merayu?
atau
Perhatian yang membanjir membutakan logika?
atau
Kata kata yang melentingkan khayalan?
atau
Pertemuan pertemuan yang menyenangkan?
atau
Kesepakatan kesepakatan yang dirahasiakan?
atau
Kehidupan yang bagaikan cerita cerita telenovela?
atau
Gelegak birahi hati yang terpuaskan?
atau
Sekedar petualangan dari hati ke hati?
atau
Manivestasi air mata?
atau
Penobatan diri sebagai pahlawan?
atau
Karya seni atas kuasa bohong?
atau
Pengakuan untuk nilai diri?
atau
Kejujuran yang menaklukkan?
Bagiku,
Cinta adalah madu beracun bagi kehidupan…
Dia manis dan mematikan!
Jakarta, 28 Agustus 2005
Friday, August 26, 2005
Pagi abu abu
Malam telah terusir.
Pagi ini terkurung hampa,
sunyi dan beku semata.
Apa hendak berlaku nanti,
apa tragedi untuk hari ini?
Apa adakah kajaiban kali ini?
Adakah tersisa ruangan untuk rencana?
Kosong melompong!
Hancur tak berbelas kasihan!
Tinggal pertanyaan membentur langit
Matahari abu abu,
ragu menuntun hari berjalan.
Menatap pada dinding dinding batu,
mencoba bertanya apa yang bakal berlaku.
Perut lapar bukanlah hiburan,
dan Tuhan entah ada dimana.
Selamat pagi wahai dunia...
Jatipadang, 26 Agustus 2005
Pagi ini terkurung hampa,
sunyi dan beku semata.
Apa hendak berlaku nanti,
apa tragedi untuk hari ini?
Apa adakah kajaiban kali ini?
Adakah tersisa ruangan untuk rencana?
Kosong melompong!
Hancur tak berbelas kasihan!
Tinggal pertanyaan membentur langit
Matahari abu abu,
ragu menuntun hari berjalan.
Menatap pada dinding dinding batu,
mencoba bertanya apa yang bakal berlaku.
Perut lapar bukanlah hiburan,
dan Tuhan entah ada dimana.
Selamat pagi wahai dunia...
Jatipadang, 26 Agustus 2005
Wednesday, August 24, 2005
Terimakasih
:N
Duhai kekasih hati,
dengan puisi kugubah terimakasih,
atas pasir beling yang kau berikan cuma cuma padaku
- lima bulan lalu -
menghambur abadi dalam darah dan otak
sebagai prasasti cintaku padamu…
Duhai kekasih hati,
dengan puisi kugubah terimakasih,
atas pasir beling yang kau berikan cuma cuma padaku
- lima bulan lalu -
menghambur abadi dalam darah dan otak
sebagai prasasti cintaku padamu…
Tuesday, August 23, 2005
Mencari Langit
tangisku pecah bersama senja yang jatuh
diantara gedung gedung berdebu
malam membawa iblis yang keji mencabik hati
hari ini telah kulewati kekosongan kesekian kali,
pun aku tak bisa berteman dengan rasa
semangatku rubuh dalam kubangan kenangan
sia sia jua kusesali semua.
Udara berwarna kelabu dan hanya kelabu
Angkasa adalah lubang luka yang menganga diam
Duka ini kadang begitu menenteramkan
ketika tak ada ruang
hanya hampa
sedang tangispun menjadi nyanyi puji puji
“aku tak lagi peduli pada iblis dan nabi nabi jika toh hanya batu nisan yang setia jadi catatan.
aku tak lagi peduli pada nurani dan betapapun tajam pedang logika, jika toh hanya keculasan jadi pemenang”
Sebutir air mata terakhir jatuh,
menghela langkah hati mencari langit;
batas yang tiada batas atas segala kefanaan dunia….
Jakarta, 23 Agustus 2005
diantara gedung gedung berdebu
malam membawa iblis yang keji mencabik hati
hari ini telah kulewati kekosongan kesekian kali,
pun aku tak bisa berteman dengan rasa
semangatku rubuh dalam kubangan kenangan
sia sia jua kusesali semua.
Udara berwarna kelabu dan hanya kelabu
Angkasa adalah lubang luka yang menganga diam
Duka ini kadang begitu menenteramkan
ketika tak ada ruang
hanya hampa
sedang tangispun menjadi nyanyi puji puji
“aku tak lagi peduli pada iblis dan nabi nabi jika toh hanya batu nisan yang setia jadi catatan.
aku tak lagi peduli pada nurani dan betapapun tajam pedang logika, jika toh hanya keculasan jadi pemenang”
Sebutir air mata terakhir jatuh,
menghela langkah hati mencari langit;
batas yang tiada batas atas segala kefanaan dunia….
Jakarta, 23 Agustus 2005
Wednesday, August 17, 2005
Gugur
: Tetet
Daun hatiku menguning
gugur dan rebah ketanah dari pokok pohon jiwamu yang membintang
bersama perih yang menggenang diam telah kukemas kenangan
sebelum pergi menjauh,
sebelum engkau menyempurnakan hampa…
Kau berangkat menghilang, menumpang mimpi yang kau paksakan
(?)
aku turut berbahagia sekarang
sebab akupun tak sanggup memberimu keharusan
bahkan bau jejakmupun hapus oleh rusuh fikiranku
ternyata mudah bagimu menancapkan nisan pengalaman
pada kubur bernama kenangan
memetik buah dari kemeranaan yang kau sembunyikan diam diam
(mungkin sempat aku terbagi secuil kue kemeranaanmu itu)
sekaligus pupus nilai kebajikan yang sama sama kita tanam
lepas sudah ruh dari jalinan jiwa ,
lesap semata rupanya
…aku menjadi anak itik yang tesesat diselokan
ternyata bermilyar teori hanya pengulur waktu saja
sampai dititik batas ketika bagimu aku tak lagi bermakna
menjadi setitik debu di pasir samudera hindia
engkau pergi, selamat jalan
menempuh jalan gilang gemilang – dalam angan angan!
(Aku sendiri dalam keadaan suram. Kebesaran hati yang kubawa waktu bersamamu dulu padam. Aku kembali menjadi manusia lama, murung kehilangan kepercayaan diri – PAT Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2)
Simatupang 17 Agustus 2005.
Daun hatiku menguning
gugur dan rebah ketanah dari pokok pohon jiwamu yang membintang
bersama perih yang menggenang diam telah kukemas kenangan
sebelum pergi menjauh,
sebelum engkau menyempurnakan hampa…
Kau berangkat menghilang, menumpang mimpi yang kau paksakan
(?)
aku turut berbahagia sekarang
sebab akupun tak sanggup memberimu keharusan
bahkan bau jejakmupun hapus oleh rusuh fikiranku
ternyata mudah bagimu menancapkan nisan pengalaman
pada kubur bernama kenangan
memetik buah dari kemeranaan yang kau sembunyikan diam diam
(mungkin sempat aku terbagi secuil kue kemeranaanmu itu)
sekaligus pupus nilai kebajikan yang sama sama kita tanam
lepas sudah ruh dari jalinan jiwa ,
lesap semata rupanya
…aku menjadi anak itik yang tesesat diselokan
ternyata bermilyar teori hanya pengulur waktu saja
sampai dititik batas ketika bagimu aku tak lagi bermakna
menjadi setitik debu di pasir samudera hindia
engkau pergi, selamat jalan
menempuh jalan gilang gemilang – dalam angan angan!
(Aku sendiri dalam keadaan suram. Kebesaran hati yang kubawa waktu bersamamu dulu padam. Aku kembali menjadi manusia lama, murung kehilangan kepercayaan diri – PAT Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2)
Simatupang 17 Agustus 2005.
17 Agustus 2005
berpendar dikepalaku,
jutaan kenangan kelaparan bentuk
aku sendiri dipenjara ruang,
lelah menerobos labirin kekecewaan
kegetiran berat memasung senyuman di bibir
kecuali cemburu yang mengamuk paksa
betapa tidak berartinya jiwa raga…
kau masih sempat tertawa melihatku sekarat dirubung luka,
kau masih sempat bercerita tentang lumuran kemeriahan bernama dusta mimpimu bercumbu dengan kemegahan kekasih hatimu yang bukan aku
nuranimu memang telah lama mati…
hari ini hari bahagiamu,
persiapkan pesta untuk hura hura
menyambut datangnya hari istimewa,
ya aku tahu apa kata hatimu yang tersembunyi itu,
dentam musik,
busuk alcohol
dan birahi yang membuncah
adalah warna yang kau cari, bukan.
Mesum belaka!
Maka persiapkanlah olehmu liang lahat bagi kebahagiaan hidupmu,
sebab aku akan pergi menjauh
dengan segudang lelukaan yang telah terang terang kau hadiahkan untukku.
“jangan lupa pasang kontrasepsi”
pesanku dengan api membakar sekujur ruhku,
dan tawamu mewakili iblis tanpa hati
yang setia menjejah otakku mulai lima bulan lalu….
”kamu lucu” katamu menghinaku!
Simatupang, 17 Agustus 2005
jutaan kenangan kelaparan bentuk
aku sendiri dipenjara ruang,
lelah menerobos labirin kekecewaan
kegetiran berat memasung senyuman di bibir
kecuali cemburu yang mengamuk paksa
betapa tidak berartinya jiwa raga…
kau masih sempat tertawa melihatku sekarat dirubung luka,
kau masih sempat bercerita tentang lumuran kemeriahan bernama dusta mimpimu bercumbu dengan kemegahan kekasih hatimu yang bukan aku
nuranimu memang telah lama mati…
hari ini hari bahagiamu,
persiapkan pesta untuk hura hura
menyambut datangnya hari istimewa,
ya aku tahu apa kata hatimu yang tersembunyi itu,
dentam musik,
busuk alcohol
dan birahi yang membuncah
adalah warna yang kau cari, bukan.
Mesum belaka!
Maka persiapkanlah olehmu liang lahat bagi kebahagiaan hidupmu,
sebab aku akan pergi menjauh
dengan segudang lelukaan yang telah terang terang kau hadiahkan untukku.
“jangan lupa pasang kontrasepsi”
pesanku dengan api membakar sekujur ruhku,
dan tawamu mewakili iblis tanpa hati
yang setia menjejah otakku mulai lima bulan lalu….
”kamu lucu” katamu menghinaku!
Simatupang, 17 Agustus 2005
Maaf
maafkan aku Tuhan,
yang tak sanggup menggubah amarah
menjadi puisi…malam ini
Simatupang, 17 Agustus 2005
yang tak sanggup menggubah amarah
menjadi puisi…malam ini
Simatupang, 17 Agustus 2005
Tuesday, August 16, 2005
Kamu!
Maka semalam tadi kubebaskan iblis dari penjara nurani
lepas membentur bentur kesombongan
Aku lelah menahan murka sendirian
hingga semangatku patah patah
Tak pantas aku menjadi pahlawan atas penghianatanmu
Tawamu menusuk lagi kepalaku,
tawa yang menghamburkan jutaan beling
menelusup kesetiap pori pori kulitku.
Kamu keji sekeji iblis!
Simatupang 16 Agustus 2005
lepas membentur bentur kesombongan
Aku lelah menahan murka sendirian
hingga semangatku patah patah
Tak pantas aku menjadi pahlawan atas penghianatanmu
Tawamu menusuk lagi kepalaku,
tawa yang menghamburkan jutaan beling
menelusup kesetiap pori pori kulitku.
Kamu keji sekeji iblis!
Simatupang 16 Agustus 2005
Aku boleh bercerita tentang amarah yang membuncah?
:FA
Hanya ketika kamu tidur aku akan bercerita,
Bosankah engkau dengan keluhan dan air mataku
Atau hanya kebetulan hatimu lelah oleh beban diri
Ya, hanya itu dan itu saja isi hidupku,
selebihnya adalah gelap tanpa suara
Aku obor yang mati ditikam dahsyat penghianatan
si kalah yang setia mengasihani diri sampai karatan,
padahal sejak purbapun diri sudahlah menjadi pecundangan…
Aku rela jika kau keberatan,
menjadi saksi atas kemelaratan semangat yang menghakimi diri
menyeret nyeret ke ketidak menentuan ini.
Bagiku satu semi satu daun daun kehidapnku telah berguguran
menuggu batang yang hanya sebatang inipun kering lalu rubuh
akarnya menjadi santapan ulat tanah
Dalam ketenggelamanku sempat kusisakan semangat penghiburan diri,
tentang satu tempat dimana tak seorangpun tahu,
tempat baru yang jauh dari mahluk bernama manusia
dan paradaban mesumnya.
Utopiaku tumbuh subur mengingkari getir
setiap detik kenangan yang menyuguhkan beling
ke setiap cc darah yang mengaliri otakku.
Perih tak terkirakan, temanku.
“ lukamu masih lagi basah…” katamu di email,
aku deritakan radang syaraf yang membusukkan nilai hakiki…
utopia hanya khayalan
aku menelan kepedihan didunia yang kupijak.
Amarah adalah sarapan
kesunyian ditimpas kecewa adalah catatan hari hari yang datang bagaikan iblis kiriman Tuhan.
Ah, maafkan aku
yang hanya tinggal punya cerita kesedihan yang membosankan.
Mestinya aku tahu diri,
engkau tak butuhkan cerita kekalahan sebab hanya akan menjengkelkan
Aku lupa, dunia telah kehilangan telinga…buatku.
Jakarta, 16 Agustus 2005
Hanya ketika kamu tidur aku akan bercerita,
Bosankah engkau dengan keluhan dan air mataku
Atau hanya kebetulan hatimu lelah oleh beban diri
Ya, hanya itu dan itu saja isi hidupku,
selebihnya adalah gelap tanpa suara
Aku obor yang mati ditikam dahsyat penghianatan
si kalah yang setia mengasihani diri sampai karatan,
padahal sejak purbapun diri sudahlah menjadi pecundangan…
Aku rela jika kau keberatan,
menjadi saksi atas kemelaratan semangat yang menghakimi diri
menyeret nyeret ke ketidak menentuan ini.
Bagiku satu semi satu daun daun kehidapnku telah berguguran
menuggu batang yang hanya sebatang inipun kering lalu rubuh
akarnya menjadi santapan ulat tanah
Dalam ketenggelamanku sempat kusisakan semangat penghiburan diri,
tentang satu tempat dimana tak seorangpun tahu,
tempat baru yang jauh dari mahluk bernama manusia
dan paradaban mesumnya.
Utopiaku tumbuh subur mengingkari getir
setiap detik kenangan yang menyuguhkan beling
ke setiap cc darah yang mengaliri otakku.
Perih tak terkirakan, temanku.
“ lukamu masih lagi basah…” katamu di email,
aku deritakan radang syaraf yang membusukkan nilai hakiki…
utopia hanya khayalan
aku menelan kepedihan didunia yang kupijak.
Amarah adalah sarapan
kesunyian ditimpas kecewa adalah catatan hari hari yang datang bagaikan iblis kiriman Tuhan.
Ah, maafkan aku
yang hanya tinggal punya cerita kesedihan yang membosankan.
Mestinya aku tahu diri,
engkau tak butuhkan cerita kekalahan sebab hanya akan menjengkelkan
Aku lupa, dunia telah kehilangan telinga…buatku.
Jakarta, 16 Agustus 2005
Tuesday, August 09, 2005
Klabat Selatan #106
(pada sebuah rindang pohon rambutan)
Diteduh yang miskin aku menitip kesabaran
Dan panas mengamuk dijempol kaki terbungkus boot hitam
aku ditengah sabana penantian
akankah hari ini datang hujan?
Klabat – Manado 090805
Diteduh yang miskin aku menitip kesabaran
Dan panas mengamuk dijempol kaki terbungkus boot hitam
aku ditengah sabana penantian
akankah hari ini datang hujan?
Klabat – Manado 090805
Monday, August 08, 2005
Menunggu
setengah mati aku menunggu,
Menerobos sampai lewat titik jemu
Hingga teleponmu lembut merayu;
Kita jangan dulu ketemu…
Singkil – Manado – 8/8/05
Menerobos sampai lewat titik jemu
Hingga teleponmu lembut merayu;
Kita jangan dulu ketemu…
Singkil – Manado – 8/8/05
Kalah
Demikianlah N,
Sesudah habis makian kita muntahkan
sementara amarah masih menjadi raja atas ego
tinggal dendam tak bertuan
aku kalah,
kamu kalah
kita memang kalah
oleh diri kita sendiri
mari,
sembunyi dari hati nurani…
Klabat – Manado – 09/08/05
Sesudah habis makian kita muntahkan
sementara amarah masih menjadi raja atas ego
tinggal dendam tak bertuan
aku kalah,
kamu kalah
kita memang kalah
oleh diri kita sendiri
mari,
sembunyi dari hati nurani…
Klabat – Manado – 09/08/05
Boulevard 090805
anyir laut mengabarkan pengembaraan
lindap ditindas aroma sampah sepanjang ruang
di jalanan musik berdentaman bagai perayaan
atas hari raya kemunafikan
Tuhan membaur dengan debu dan konstruksi bangunan jua
Boulevard malam ini menjadi komik
kehidupan atas peradaban yang makin tua
melintas dalam naungan bulan sabit;
aku kesepian diantara discotana
senyap dalam alamku
tak peduli
berderet melengkapi genit semak dan mesum bebatuan,
kehidupan lain lagi sedang menjombak,
mungkin dengan birahi membuncah dibakar alcohol
dan bangkai botol botol minuman menangisi kemunduran
aku tetap kesepian,
bersenandung sepanjang jalan
berhenti mengasihani diri,
terdampar di kursi plastik warung tenda;
ayam goreng, ampela goreng,
dan syahwat yang mencari cari; menu makan malam
Terimakasih, boulevard atas makan malammu
Tuhan, malam ini juga milikmu…
Boulevard – Manado 080805
lindap ditindas aroma sampah sepanjang ruang
di jalanan musik berdentaman bagai perayaan
atas hari raya kemunafikan
Tuhan membaur dengan debu dan konstruksi bangunan jua
Boulevard malam ini menjadi komik
kehidupan atas peradaban yang makin tua
melintas dalam naungan bulan sabit;
aku kesepian diantara discotana
senyap dalam alamku
tak peduli
berderet melengkapi genit semak dan mesum bebatuan,
kehidupan lain lagi sedang menjombak,
mungkin dengan birahi membuncah dibakar alcohol
dan bangkai botol botol minuman menangisi kemunduran
aku tetap kesepian,
bersenandung sepanjang jalan
berhenti mengasihani diri,
terdampar di kursi plastik warung tenda;
ayam goreng, ampela goreng,
dan syahwat yang mencari cari; menu makan malam
Terimakasih, boulevard atas makan malammu
Tuhan, malam ini juga milikmu…
Boulevard – Manado 080805
Saturday, August 06, 2005
AKU DAN HIDUP
Hidup
waktu membatu
sunyi adalah maharaja
berpermaisuri kesedihan
dalam ruang beku
langit hitam
dinding hitam
lantai hitam
enggan gemuruh adalah bisu
(bukan milikku)
waktu meleleh berat
ditindas iblis bernama kenangan
diatas bumi aku sebatang pohon ara
ditengah sabana muda
tanpa jejak
apalagi gerak
segerombol iblis menyerbu menghisap sisa embun di jiwa gersangku
Enyah kau bajingan bernama sakit hati!
Menjauhlah setan bernama dendam !
dan engkau bangsat kekecewaan; carilah olehmu mangsa baru!
betapa pengecutnya menganiaya yang dikalahkan
Sendirian telah kutelan kalah oleh kuasa kerelaan
dengan tangis telah kukemas puing puing keberadaan
dalam kardus bekas bungkus rokok
perdaban berjalan dan hanya disekelilingku
menghanyut tak tertuang arah tujuan
Tuhan,
Sungguh aku mengharap sebuah damparanMu
maka damparkan aku ya Tuhan
di bumi mu
dimana setiap pagi bisa kutemui sisa embun pemupuk semangat diri…
Manado, 5 Agustus 2005
waktu membatu
sunyi adalah maharaja
berpermaisuri kesedihan
dalam ruang beku
langit hitam
dinding hitam
lantai hitam
enggan gemuruh adalah bisu
(bukan milikku)
waktu meleleh berat
ditindas iblis bernama kenangan
diatas bumi aku sebatang pohon ara
ditengah sabana muda
tanpa jejak
apalagi gerak
segerombol iblis menyerbu menghisap sisa embun di jiwa gersangku
Enyah kau bajingan bernama sakit hati!
Menjauhlah setan bernama dendam !
dan engkau bangsat kekecewaan; carilah olehmu mangsa baru!
betapa pengecutnya menganiaya yang dikalahkan
Sendirian telah kutelan kalah oleh kuasa kerelaan
dengan tangis telah kukemas puing puing keberadaan
dalam kardus bekas bungkus rokok
perdaban berjalan dan hanya disekelilingku
menghanyut tak tertuang arah tujuan
Tuhan,
Sungguh aku mengharap sebuah damparanMu
maka damparkan aku ya Tuhan
di bumi mu
dimana setiap pagi bisa kutemui sisa embun pemupuk semangat diri…
Manado, 5 Agustus 2005
Friday, August 05, 2005
Kalam dari ketinggian
Senja bagai anak panah lepas dari busur, liar.
aku mendaki dalam garuda besi
Berlari kencang,
mendongak sombong lalu terbang membelah awan.
Gelap.
Langit balikpapan bergetar
sekejap lalu dibawah sana ribuan mercuri menyala jadi kunang kunang.
Jalanan penuh semut dengan obor kemerahan.
Setahun lalu aku adalah satu titik semut itu,
yang mengitari jalanan mencari mangsa,
mencari penghidupan dengan kesombongan dan kebesaran
Tuhan hadir dibangku sebelahku,
mengetukku dengankata kata maha bijaknya.
Dari 10000 kaki, dan balikpapan tinggal nampak peta hidup
dan yang bergerak gerak, yang berkelip kelip adlah kehidupan semata.
Tiba tiba hati jadi kecut,
bahwa dari jarak ketinggianpun kehidupan tampak tak berarti,
sekedar angak penghias data statistic.
Garuda besiku menderu parau,
sepotong roti segela air siap menemani sama seprti sore tadi.
Laju laju wahai burung raksasa,
bawa aku lekas berrtemu dengan bumi asing gelap tanpa lampu; tujuanku. Lajulah laju turunkan aku
ditanah baru bersama Tuhan bersemayam dalam sanubariku.
Relakan semua,
relakan apa yang engkau sayangkan,
sebab hidup tak ubahnya kehiduapn kota balikpapan dari jarak 10.000 kaki
Kelap kelip tak berarti, mematahkan kesombongan diri…
demikian kalam tuhan yang hadir disebelahku….
Langit diatas Balikpapan, 4 Agustus 2005
aku mendaki dalam garuda besi
Berlari kencang,
mendongak sombong lalu terbang membelah awan.
Gelap.
Langit balikpapan bergetar
sekejap lalu dibawah sana ribuan mercuri menyala jadi kunang kunang.
Jalanan penuh semut dengan obor kemerahan.
Setahun lalu aku adalah satu titik semut itu,
yang mengitari jalanan mencari mangsa,
mencari penghidupan dengan kesombongan dan kebesaran
Tuhan hadir dibangku sebelahku,
mengetukku dengankata kata maha bijaknya.
Dari 10000 kaki, dan balikpapan tinggal nampak peta hidup
dan yang bergerak gerak, yang berkelip kelip adlah kehidupan semata.
Tiba tiba hati jadi kecut,
bahwa dari jarak ketinggianpun kehidupan tampak tak berarti,
sekedar angak penghias data statistic.
Garuda besiku menderu parau,
sepotong roti segela air siap menemani sama seprti sore tadi.
Laju laju wahai burung raksasa,
bawa aku lekas berrtemu dengan bumi asing gelap tanpa lampu; tujuanku. Lajulah laju turunkan aku
ditanah baru bersama Tuhan bersemayam dalam sanubariku.
Relakan semua,
relakan apa yang engkau sayangkan,
sebab hidup tak ubahnya kehiduapn kota balikpapan dari jarak 10.000 kaki
Kelap kelip tak berarti, mematahkan kesombongan diri…
demikian kalam tuhan yang hadir disebelahku….
Langit diatas Balikpapan, 4 Agustus 2005
Thursday, August 04, 2005
POHON
Pada dua pohon yang kutanam dari persemaian
kubawa dari negeri tak bertuan nun jauh tak terkirakan
Dihalaman rumah kita,
tumbuh bahagia
Pohon kehidupan, aku menamakan
dan bagimu adalah pohon kematian.
Pohon itu tumbuh di hati dan jiwaku dalam pengembaraan,
ingatkah engkau?
Satu pohon luluh lantah oleh bebatuan atas kuasa kehendakmu
dan tak ada sesatupun mengganggu nuranimu.
Bagiku, dia adalah catatan kenanganku sendiri
atas langkah kaki yang tak terukur lagi jaraknya
Maka lihatlah kini…
Pohon kehidupan tumbuh sendirian,
yang satu mati musnah tanpa kesan
Kelak jika ia sanggup
menjulang sendirian ditengah halaman depan rumah
jika rimbunya meneduhkan dan daunya gugur bergantian,
simpanlah satu sebagai catatan;
Bahwa dahulu kala dia bukanlah apa apa,
dan setelah usia lelah ditikam waktu,
dia gugur kembali menjadi bukan apa apa,
rindangnya telah dilupakan orang…
Belajarlah dari ketulusanya,
kerelaanya untuk menjadi martir dan symbol hidup yang pragmatis
Bukankah daunya tetap hijau?
Bukankah dia menjadi hamba bagi kehidupan lain yang tak pernah kau pelajari??
4 Agustus 2005
34.000 kaki datasa laut sulawesi
kubawa dari negeri tak bertuan nun jauh tak terkirakan
Dihalaman rumah kita,
tumbuh bahagia
Pohon kehidupan, aku menamakan
dan bagimu adalah pohon kematian.
Pohon itu tumbuh di hati dan jiwaku dalam pengembaraan,
ingatkah engkau?
Satu pohon luluh lantah oleh bebatuan atas kuasa kehendakmu
dan tak ada sesatupun mengganggu nuranimu.
Bagiku, dia adalah catatan kenanganku sendiri
atas langkah kaki yang tak terukur lagi jaraknya
Maka lihatlah kini…
Pohon kehidupan tumbuh sendirian,
yang satu mati musnah tanpa kesan
Kelak jika ia sanggup
menjulang sendirian ditengah halaman depan rumah
jika rimbunya meneduhkan dan daunya gugur bergantian,
simpanlah satu sebagai catatan;
Bahwa dahulu kala dia bukanlah apa apa,
dan setelah usia lelah ditikam waktu,
dia gugur kembali menjadi bukan apa apa,
rindangnya telah dilupakan orang…
Belajarlah dari ketulusanya,
kerelaanya untuk menjadi martir dan symbol hidup yang pragmatis
Bukankah daunya tetap hijau?
Bukankah dia menjadi hamba bagi kehidupan lain yang tak pernah kau pelajari??
4 Agustus 2005
34.000 kaki datasa laut sulawesi
KUPU KUPU YANG BERSEPATU
: Lalu Kardiman
senja tadi,
entah keberapa juta kali air mata jatuh
luruh dipelataran parkir;
seorang sahabat dalam pelukan, jabat tangan untuk perpisahan
sahabat hati, di bumi yang pernah kusinggahi
dan aku hanyalah kupu kupu yang barsepatu
terbang, hinggap untuk pergi lagi..
dialog kita beku ketika kau lihat sayapku yang compang camping,
dan warna perih menjalari jalinan ruhku
kemana engkau akan pergi? tanyamu haru
jauh saudara hatiku,
ke bumi penuh api yang tak pernah terlintas dalam mimpi,
lalu tunggulah berita tentangku dikoran sore besok hari
tatap matamu adalah ketulusan purba yang pernah menjadi pemanduku dulu, tatap mata yang itu itu juga,
dengan kata kata yang itu itu juga
tetaplah optimis wahai saudaraku , ucapmu sebelum angin membawaku hilang ditelan buram langit Balikpapan.
menuju negeri penuh api, kukempit sisa kenangan yang terburai hancur oleh waktu
lalu kujadikan kenang kenangan;
seorang sahabat hati dalam ingatan…
Langit diatas Balikpapan, Awal Agustus 2005
senja tadi,
entah keberapa juta kali air mata jatuh
luruh dipelataran parkir;
seorang sahabat dalam pelukan, jabat tangan untuk perpisahan
sahabat hati, di bumi yang pernah kusinggahi
dan aku hanyalah kupu kupu yang barsepatu
terbang, hinggap untuk pergi lagi..
dialog kita beku ketika kau lihat sayapku yang compang camping,
dan warna perih menjalari jalinan ruhku
kemana engkau akan pergi? tanyamu haru
jauh saudara hatiku,
ke bumi penuh api yang tak pernah terlintas dalam mimpi,
lalu tunggulah berita tentangku dikoran sore besok hari
tatap matamu adalah ketulusan purba yang pernah menjadi pemanduku dulu, tatap mata yang itu itu juga,
dengan kata kata yang itu itu juga
tetaplah optimis wahai saudaraku , ucapmu sebelum angin membawaku hilang ditelan buram langit Balikpapan.
menuju negeri penuh api, kukempit sisa kenangan yang terburai hancur oleh waktu
lalu kujadikan kenang kenangan;
seorang sahabat hati dalam ingatan…
Langit diatas Balikpapan, Awal Agustus 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)